a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Smelter Bijih Nikel Dinilai hanya Bikin RI Makin Miskin

Smelter Bijih Nikel Dinilai hanya Bikin RI Makin Miskin
indopos.co.id – Di tengah hiruk pikuk pandemi COVID-19. Pemerintah fokus melakukan hilirasi hasil tambang nasional. Salah satunya melalui pembangunan pabrik pemurnian (smelter) bijih nikel. Rencana ini dinilai merugikan kas keuangan negara. Mulai larangan ekspor bijih nikel hingga pemberian insentif fiskal berupa pembebasan pajak. Kebijakan ini dinilai hanya menguntungkan pengembang smelter asal Tiongkok karena harga bijih nikel jauh lebih murah.

Ekonom senior Faisal Basri mengatakan, saat ini penambang tidak lagi bisa melakukan ekspor, sehingga harga bijih nikel nasional lebih murah ketimbang di pasar internasional. ’’Misalnya harga nikel di pasar internasional 40 dollar AS, di Indonesia cuma 20 dollar AS, karena dilarang ekpsor,’’ katanya dalam diskusi virtual, Kamis (3/9/2020) lalu.

Dengan harga bijih nikel yang jauh lebih murah, Faisal menyebutkan, pengusaha smelter asal Tiongkok memutuskan untuk membangun smelter di Indonesia. ’’Karena nikmat sekali. Tiga tahun dia di Indonesia dia sudah break event point dan keuntungannya puluhan triliun,’’ ujarnya.

Bukan hanya itu, pengembang smelter juga diberikan insentif lain berupa pembebasan pajak (tax holiday) selama 25 tahun. Meskipun insentif tersebut hanya bisa dinikmati investor dengan modal di atas Rp25 triliun, menurut Faisal, pengawasan pemerintah terhadap ketentuan itu tidak akan ketat.

Baca Juga :
Dewan dan Pemerintah Lakukan Pengawasan Pembangunan Smelter

Besarnya minat Tiongkok membangun smelter bijih nikel di Indonesia juga mendapatkan sorotan tajam dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Koordinator Kampanye Jatam Melky Nahar mengatakan, keberadaan smelter yang dibuka perusahaan Tiongkok dinilai tidak akan memberi keuntungan kepada Indonesia. Sebab, hasil tambang itu akan diolah sendiri oleh perusahaan asal Tiongkok dan dijual ke negara lain. Artinya perusahaan tambang lokal hanya dapat memasok hasil minerba itu tanpa dapat mengolahnya sendiri.

’’Ini yang akan menimbulkan masalah baru. Kenapa harus diberikan izin mudah bagi Tiongkok membuka smelter. Toh perusahaan tambang yang ada pun mampu melakukan itu. Keberadaan perusahaan asing ini akan membuat Indonesia semakin miskin saja,’’ katanya kepada INDOPOS, (29/9).

Keberadaan smelter nikel yang dibangun di Indonesia juga dinilai berdampak buruk kepada alam dan lingkungan. Pengusaha tambang akan jor-joran mengeruk nikel dari dalam tanah tanpa mempedulikan kondisi lingkungan. Kemudian sisa pembuangan olahan nikel akan dibuang ke laut.

’’Bagaimana dengan dampak kerusakan alam dan lingkungan, apakah sudah dipikirkan pemerintah. Jangan hanya kepentingan segelintir orang smelter nikel dari China ini dibuka. Kami sangat keras menolak adanya smelter nikel itu,’’ paparnya.

Selain itu, keberadaan smelter nikel dari Tiongkok tidak akan mau menyerap tenaga kerja lokal. Seluruh perusahaan asing ini akan mempekerjakan tenaga asal negaranya dengan alasan memiliki keahlian khusus. Artinya, penggerusan hasil bumi akan membawa kemiskinan bagi masyarakat setempat.

’’Harusnya pemerintah bijaksana dalam hal ini. Kajian harus dilakukan dari segi manapun. Kalau tidak mendatangkan keuntungan bagi negara ya ditolak saja,’’ ucapnya.

Menurutnya, alih-alih penggunaan nikel sebagai bahan bakar baru bagi kendaraan, tidak lantas dapat merusak alam dan lingkungan serta merugikan negara. Karena itu, Jatam berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kehadiran smelter nikel dari Tiongkok. Kemudian, pemerintah dapat membangun smelter dengan menggaet perusahaan tambang nasional. Selain itu, pemerintah harus tegas menindak perusahaan minerba yang melanggar aturan pertambangan.

Sementara itu, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menuturkan, dibukanya keran bagi Tiongkok untuk membuka pabrik peleburan nikel akan membuat citra pemerintah menurun di mata masyarakat. Itu karena pemerintah dianggap belum mampu membangun smelter sendiri. Padahal, sejak 60 tahun Indonesia telah mampu mengelola nikel. Artinya, tidak ada lagi celah bagi pemerintah untuk merugikan negara dengan alasan kerja sama dengan Tiongkok untuk menambah devisa negara.

’’Seakan-akan teknologi lewat investasi tambang nikel dari China sangat penting. Sudah dari dulu pengelolaan nikel dapat dikerjakan, kenapa pabriknya tidak dibangun. Ingat China sekarang sudah menguasai perekonomian dunia, untuk apalagi Indonesia memperkaya mereka,’’ tuturnya.

Ditambahkan Ichsanuddin, pemerintah seharusnya membuka keran ekspor nikel untuk mendapatkan devisa bagi negara. Apalagi nikel asal Tanah Air ini memiliki nilai jual tinggi. Artinya Indonesia dapat menguasai pasar nikel internasional.



Investasi Tabrak Peraturan

Maraknya Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia menjadi sorotan serikat pekerja (SP). Apalagi, TKA ini ditengarai hanya mengantongi visa turis. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menegaskan, merujuk undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 42-49 TKA tidak boleh berbekal visa turis. Akan tetapi harus memenuhi persyaratan di antara izin, hingga jenis pekerjaan yang boleh dipekerjakan TKA.

’’Ini persoalan. Jelas pemerintah kita lemah dalam pengawasan. Kan sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan,’’ ungkap Timboel Siregar kepada INDOPOS, Kamis (1/10).


Dia menuturkan, investasi sangat dibutuhkan negara. Apalagi di tengah pandemi COVID-19 seperti saat ini. Namun demikian tidak dibenarkan investasi harus menabrak hukum. Sebab, sudah secara terang benderang TKA dari investor luar negeri telah diatur dalam UU Ketenagekerjaan.

’’Ini kan hanya persoalan orang mau tanam investasi dan bawa tenaga kerja sendiri. Kita butuh investasi itu betul sekali, tapi jangan ditabrak juga UU yang ada. Kan pasal 42-49 sudah mengatur TKA,’’ katanya.

Menurut Timboel, sejak dahulu pemerintah tutup mata pada persoalan TKA. Dan pengawasan berada di bawah pemerintah daerah. Sebab, tenaga pengawas ketenagkerjaan berada di tingkat provinsi dan pemerintah pusat.

’’Kalau jumlahnya (tenaga pengawas) ini belum ideal. Tapi kan penindakan TKA ini bisa saja langsung diproses dan ini tidak terlampau sulit,’’ ungkapnya.

Timboel menyebutkan, sanksi harus benar diterapkan pemerintah. Apabila, diketahui TKA tidak mengantongi visa tenaga kerja, maka harus segera dideportasi ke negara asalnya. Karena dalam UU ketenagerkerjaan telah mengaturnya.

’’Kita bukan anti-TKA. Tapi kan harus sesuai persyaratan yang telah diatur dalam UU. Kalau pelanggaran ini dibiarkan hanya akan memunculkan kecemburuan sosial, apalagi lapangan kerja untuk pekerja Indonesia sendiri masih terbatas jumlahnya,’’ ujarnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKB Abdul Wahid menegaskan, para pengusaha smelter nakal harus ditindak. Apalagi para pengusaha tidak membayar PPh badan. Pasalnya, PPh badan tersebut adalah penerimaan negara. ’’Kalau untuk TKA kemarin alasan mereka untuk alih teknologi. Tapi sampai berapa lama? Ini akan kami evaluasi, setelah data kami peroleh,’’ ujar Abdul Halim.

Dia setuju ada kemudahan bagi para pengusaha smelter nikel. Seperti pemberian tax holiday atau pembebasan pajak. Namun demikian kewajiban harus dipenuhi para pengusaha. Terutama PPh badan dan terkait izin TKA. ’’Pengangguran kita tinggi, kita minta kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) melakukan pengawasan secara ketat. Ini bukan kita mempersulit, tapi sesuai prosedur yang ada,” jelasnya.

Lebih jauh Abdul mengungkapkan, pemerintah telah menerbitkan aturan mengenai Harga Patokan Mineral (HPM) yang menjadikan patokan harga jual beli nikel domestik. Karena itu, seluruh pihak harus mematuhi itu. Pasalnya, tidak sedikit para pengusaha smelter hanya mencari untung tanpa memperhatikan pemilik tambang.

’’Kan dari neraca sendiri bisa dihitung berapa biaya prosuksi smleter dari harga dunia. Jadi tidak alasan untuk tidak memperhatikan pemilik smelter,’’ katanya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Kementerian ESDM Bambang Gatot mengakui, telah menerima pesan dari Komisi VII DPR RI terkait pengawasan perusahaan pertambangan dalam mendirikan smelter. Perusahaan yang tidak patuh, menurutnya, akan dicabut izin IUPK oleh Kementerian ESDM. Termasuk perusahaan yang memiliki izin membangun smelter namun tak kunjung ada kemajuan.

’’Pokoknya kita diminta tegas melakukan pengawasan terhadap smelter,’’ ujarnya.

Menurut Bambang, sudah ada empat perusahaan pertambangan yang dicabut IUPK. Perusahaan tersebut tidak juga menunjukkan kemajuan dalam membangun smelter sesuai target.

Berdasarkan data Kementerian ESDM hingga 16 Agustus 2018 lalu, empat perusahaan yang izinnya dicabut adalah PT Surya Saga Utama yang memproduksi nikel di Bombana, Sulawesi Tenggara. Tak ada kemajuan fisik sejak 23 November 2017 sekitar 39,44 persen. Adapun realisasi ekspor 51.000 wet metric ton (WMT) dari target 3.000.000 WMT. Karena itu, status ekspor dihentikan sementara.

Lalu PT Modern Cahaya Makmur. Perusahaan ini memproduksi nikel dan berada di Konawe, Sulawesi Tenggara. Tak ada penambahan fisik pabrik sejak 23 November 2017 sebesar 76,38 persen. Modern Cahaya belum mengekspor barang tambang, sedangkan rekomendasi ekspor 298.359. Status ekspor pun dihentikan sementara.

Lalu ada PT Integra Mining Nusantara. Perusahaan yang memproduksi nikel ini berada di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Kemajuan fisik hingga 28 Juni 2018 masih 20 persen. Seperti Modern, Integra pun belum mengeskpor barang tambang. Sedangkan rekomendasi ekspornya 923.760. Status ekspor dihentikan sementara.

Dan, PT Lobindo Nusa Persada. Perusahaan yang memproduksi bauksit ini berada di Bintan, Kepulauan Riau. Sejak tanggal rekomendasi pembangunan 30 Oktober 2017, belum dilakukan pembangunan smelter. Perusahaan ini belum mengeskpor barang tambang, sedangkan jumlah rekomendasi ekspor 1.500.000 WMT. Status ekspor diberhentikan sementara. (nas/cok)