Smelter Gresik Beroperasi Lagi, Produksi Freeport Pulih 40%
Jakarta - PT Freeport Indonesia bisa sedikit bernafas lega. Smelter di Gresik yang biasa menyerap 40% konsentrat Freeport mulai kembali beroperasi setelah sempat lumpuh akibat pekerjanya melakukan aksi pemogokan pada 19 Januari 2017.
VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengatakan bahwa kapal pengangkut konsentrat dari Gresik sudah tiba di Papua.
"Saya dapat kabar (smelter Gresik) mulai berproduksi sedikit karena kapal sudah datang untuk membawa konsentrat ke Gresik," kata Riza dalam diskusi di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis (9/3/2017).
Stok konsentrat Freeport yang menumpuk pun bisa berkurang, kegiatan operasi dan produksi pertambangan juga bisa sedikit dipulihkan. Pada 21 Maret 2017 nanti, fasilitas pengolahan bijih tembaga (mill) di Grasberg juga beroperasi kembali.
"Kapal pertama (dari Gresik) baru sandar dan loading, mill akan mulai beroperasi," tutur Riza.
Meski demikian, produksi Freeport yang pada waktu normal mencapai 162.000 ton bijih (ore) per hari belum bisa dipulihkan 100%. Kapasitas smelter milik PT Smelting Gresik hanya bisa mengolah 40% produksi Freeport.
"Maksimal 40% dari 160.000 ton ore per hari. Itu target kita, mudah-mudahan bisa cepat. Selama tidak bisa ekspor (konsentrat), kita sesuaikan produksi dengan kapasitasnya dengan Smelting," tutup Riza.
Seperti diketahui, hubungan PT Freeport Indonesia dan pemerintah Indonesia tengah memanas. Freeport mengancam akan menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional karena merasa hak-haknya di dalam Kontrak Karya (KK) dilanggar.
PT Freeport Indonesia telah menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan.
Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.
Pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti KK. Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu.
IUPK bukan kontrak, posisi pemerintah sebagai pemberi izin jadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin. KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai 2 pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasaan negara terhadap kekayaan alam.
Tapi perusahaan tambang yang berpusat di Arizona, Amerika Serikat (AS), ini tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).
Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51% karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham mayoritas dipegang pihak lain.
Freeport dan pemerintah masih punya waktu selama 120 hari sejak 18 Februari 2017 untuk mencari win-win solution. Jika tak tercapai titik temu, Freeport dapat mengambil jalan Arbitrase. (mca/mkj)