MINGGU pagi, saya kembali jogging mengitari komplek perumahan PT. Inalum. Saya mengitari lebih jauh areal yang memiliki 1.340 unit rumah dan tujuh asrama itu.
Terdapat sejumlah unit yang tak dihuni. Itu karena kondisinya mulai lapuk dimakan usia. Ada yang keropos pada bagian teras, ada pula pada atap kamar maupun ruang tamu.
Menurut Afif, staf humas Inalum, saat ini sedang dilakukan perbaikan bertahap terhadap unit rumah yang rusak.
“Perbaikan dilakukan karena mulai banyak karyawan yang telah berumah tangga, sehingga tidak memungkinkan tinggal di asrama lagi,” jelasnya.
Total, Inalum memiliki 2.076 karyawan. Selain tinggal di Komplek Perumahan Tanjung Gading, ada juga yang bermukim di fasilitas Kompleks Perumahan Paritohan.
Untuk Komplek Tanjung Gading, khusus dihuni oleh karyawan pabrik peleburan aluminium. Sedangkan di Paritohan, hanya untuk pegawai PLTA Paritohan. Rumah pegawai di areal Paritohan hanya 180 unit di atas lahan seluas 80 hektar.
Perlu diketahui, Inalum memiliki pembangkit listrik sendiri. Pembangkit itu mengandalkan air Sungai Asahan yang berasal dari Danau Toba. Ketersediaan energi listrik sangat vital karena peleburan aluminium memerlukan energi yang stabil. Tidak boleh naik-turun. Jika itu terjadi, peleburan gagal total.
Kembali ke jogging. Saya terus memacu kaki berlari mengitari kompleks Tanjung Gading. Kali ini, saya menjumpai sejumlah keluarga karyawan Inalum. Hanya bertegur sapa. Pagi. Mereka juga menikmati sejuknya udara pagi itu.
Hampir 30 menit berlari, saya memutuskan kembali ke mess. Masuk ke dalam, ternyata sarapan telah menanti. Ada lontong sayur dan nasi lemak (uduk). Langsung saya santap lontong sayur.
Kemudian, saya duduk santai sembari menyulut api rokok. Sebatang Dji Sam Soe tak saya isap sampai habis. Baru seperempat, saya buang dan bergegas mandi. Bruuuurrrr….air hangat mengucur dari shower.
Siang itu, saya dan rombongan diundang untuk melihat smelter Inalum. Jarak lokasi pabrik peleburan itu hampir 170 kilometer dari Perumahan Tanjung Gading.
Humas Inalum Bambang Heru Prayoga mendampingi kami. Ia duduk bersebelahan dengan Ketua PWI Sumut Hermansyah. Sedangkan saya, persis di samping sopir.
Sekitar 30 menit perjalanan, kami singgah di kantor utama, sebelum ke smelter. Terlebih dahulu mengenakan helm dan jaket visitor. Kami juga menyempatkan berpose di prasasti yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Ya, pabrik peleburan itu dibangun pada era Orde Baru. Sebelum dibangun pada Tahun 1976 silam, terlebih dahulu dilakukan studi kelaikan oleh perusahaan konsultan Jepang, Nippon Koei. Tiga tahun berselang, pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat mengikat kerjasama.
Ada 12 perusahaan asal negeri matahari terbit itu yang menjadi penanam modal. Masing-masing; Sumitomo Chemical Company Ltd., Sumitomo Shoji Kaisha Ltd., Nippon Light Metal Company Ltd., C Itoh & Co., Ltd., Nissho Iwai Co., Ltd., Nichimen Co., Ltd., Showa Denko K.K., Marubeni Corporation, Mitsubishi Chemical Industries Ltd., Mitsubishi Corporation, Mitsui Aluminium Co., Ltd., Mitsui & Co., Ltd.
Bambang Heru menuturkan, ke-12 perusahaan Jepang itu membentuk konsorsium bernama Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd (NAA) yang berkedudukan di Tokyo pada tanggal 25 November 1975.
Pada tanggal 6 Januari 1976, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan Jepang didirikan di Jakarta.
Sesuai perjanjian, perbandingan saham antara Pemerintah Indonesia dengan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd, adalah 10% dengan 90%. Pada bulan Oktober 1978 perbandingan tersebut menjadi 25% dengan 75% dan sejak Juni 1987 menjadi 41,13% dengan 58,87% dan sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12% dengan 58,88%.
Dengan perjanjian itu, Inalum tercatat sebagai pelopor dan perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak dalam bidang Industri peleburan aluminium dengan investasi sebesar 411 miliar Yen.
Secara de facto, perubahan status Inalum menjadi BUMN terjadi pada 1 November 2013. Pemutusan kontrak antara Pemerintah Indonesia dengan Konsorsium Perusahaan asal Jepang berlangsung pada 9 Desember 2013. Sepuluh hari berselang, secara de jure Inalum menjadi BUMN. Dan Inalum resmi menjadi BUMN ke-141 pada tanggal 21 April 2014 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2014.
“Tiga puluh tujuh tahun Jepang mengelola ini dengan bahan baku diimport dari Australia. Kini setelah pengambilalihan, memang kita akui kinerja Jepang baik, dan kita berupaya ke arah itu. Yang jelas, saat ini kita bisa langsung merasakan keuntungan ya tanpa berbagi ke.pihak lain,” jelas Bambang.
Lalu, ia mengajak kami ke smelter. Hanya lima menit, kami sudah tiba di pabrik. Bambang mengingatkan agar kami meninggalkan ponsel dan jam tangan. Sebab, dikhawatirkan ke dua benda itu akan tidak berfungsi lagi.
Supervisor smelter langsung mengarahkan kami untuk melihat tungku peleburan. Hanya, kami diingatkan untuk tidak lewati hari kuning. Sebab, suhu di tungku peleburan mencapai 950 derajat celcius.
“Kami pernah ujicoba hingga 1.500 derajat. Tapi untuk menjaga kestabilan, konstan di 950 derajat. Ada tiga blok untuk tungku peleburan. Semuanya berjumlah 510 tungku. Harganya berkisar Rp2 miliar per unitnya,” jelas dia.
Ia pun menunjukan hasil peleburan. Dengan sendok yang dimodifikasi dari besi, seorang karyawan menciduk ke tunggu proses oksidasi alumunium. Setelah diangkat, didiamkan hampir satu menit, lalu cetakan itu dituangkan di lantai. Tampak, cetakan sebesar jempol tangan menggelinding.
“Ini panasnya masih dikisaran 200 derajat, jadi jamga disentuh,” ucap petugas itu mengingatkan.
Setelah berpose di areal smelter, kami langsung meninggalkan pabrik peleburan, karena suhu begitu menyengat tubuh. Gerah rasanya. Kami lanjut menuju pabrik pencetakan Alumunium Bullet dan Foundry Alloy. Ini dua produk baru Inalum yang merajai pemesanan. (bersambung) https://medsoslampung.co/smelter-inalum-punya-510-tungku-peleburan-senilai-rp2-miliar-unit/