Smelter Penuhi Kontrak Sesuai HPM, kok Penambang yang Ketiban Apes?
Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan smelter mulai mematuhi pelaksanaan kontrak jual beli bijih nikel dalam negeri sesuai dengan ketentuan harga patokan mineral.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan bahwa sejak Oktober 2020, perusahaan smelter telah melaksanakan kontrak jual beli bijih nikel sesuai dengan ketentuan harga patokan mineral (HPM).
Namun, kontrak yang berlaku menggunakan skema cost, insurance, and freight (CIF) dan smelter hanya membayar biaya tongkang US$3 per ton.
Baca Juga : Nah Lo! 73 Perusahaan Dapat Teguran Soal Penerapan Harga Patokan Nikel "Artinya dalam kondisi ini banyak penambang-penambang yang jauh lokasinya, baik dari Papua, Maluku, Maluku Utara, sebagian Sulawesi Tenggara itu harus menyubsidi biaya tongkang sekitar US$5—US$8 per metrik ton," ujar Meidy dalam sebuah webinar, Rabu (16/12/2020).
Selain itu, perusahaan smelter juga mensyaratkan sejumlah hal dalam kontrak. Pertama, bonus/penalti kadar nikel (Ni) sekitar US$7/0,1 point. Artinya, apabila kadar lebih rendah dari 1,7 persen akan dikenakan penalti sebesar US$14/ton.
Kedua, jika kandungan SiO/MgO diantara 2,50—3,00 bonus/penalti US$0,03/point, apabila SiO/MgO lebih dari 3,00 akan dikenakan penalti tambahan 0,06/point.
Baca Juga : Eramet dan BASF Lakukan Studi Pengembangan Pabrik HPAL di Weda Bay "Saat ini juga pihak smelter memberlakukan kandungan SiO/MgO yang tadinya tidak ada, saat ini diberlakukan. Mau tidak mau beberapa daerah yang kandungan SiO/MgO tidak sesuai permintaan smelter akhirnya mendapatkan penalti," kata Meidy.
Ketiga, jika kadar air di atas 30 persen akan dikenakan denda sebesar US$5/ton dan apabila lebih rendah dari 30 persen akan diberikan bonus sebesar US$5/ton.
Meidy pun mendorong pemerintah untuk memastikan pelaksanaan HPM tetap berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan mencarikan solusi terkait pengaturan biaya CIF yang membebani penambang dengan subsidi biaya pengiriman.
Ketika menanggapi hal itu, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan bahwa Satgas HPM saat ini tengah mendiskusikan untuk mencari solusi terkait aspek jarak dan kandungan SiO/MgO.
Menurutnya, dari sisi jarak, tentunya kalau mengambil bijih yang berada jauh sekali, tentunya akan jadi beban bagi smelter.
“Sementara ini adalah harga FOB [free on board], ini akan menjadi berat kalau jaraknya sangat jauh sekali yang nanti pada akhirnya yang jauh tidak akan terbeli. Ini jadi salah satu bahan pembicaraan Satgas HPM yang tentunya nanti akan dicari formula win-win solution," kata Yunus.