a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Soal Hilirisasi Pascadivestasi

Soal Hilirisasi Pascadivestasi
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, menyatakan Head of Agreement (HoA) dalam pembelian Freeport bukan kesepakatan mengikat. Akibatnya, publik menilai tahapan proses divestasi saham PT Freeport Indonesia (FI) oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) bagaikan bertepuk sebelah tangan. Implikasinya, program hilirisasi yang merupakan roh Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral Tambang dan Batu Bara (minerba) semakin menjauh.

FI selama ini kurang serius mewujudkan smelter yang merupakan fasilitas pemurnian biji mineral. Dengan adanya HoA tersebut, dia semakin menemukan alasan untuk mangkir. Kepentingan nasional yang sangat hakiki berupa syarat-syarat yang pernah disampaikan pemerintah terkait pembangunan smelter tidak ditanggapi serius FI.

Pemerintah harus tetap konsisten, hilirisasi mineral bebasis UU Minerba suatu keharusan. Dalam UU jelas diperintahkan agar seluruh pengolahan mineral dilakukan di dalam negeri (lihat Pasal 102, 103, dan 170). Kini, bukan zamannya lagi berpuas diri mendapat penerimaan dari ekspor bahan mentah mineral atau konsentrat. Pemerintah harus total mewujudkan program hilirisasi terkait daerah penghasil tambang.

Sekarang sebagian besar negara berusaha keras menerapkan ekspor hasil tambang bernilai tambah tinggi, tidak lagi ekspor murni konsentrat seperti kita. Contoh. Tiongkok menjaga SDA amat ketat. Beijing lebih memilih membeli bahan mentah bauksit dan nikel dari Indonesia, meski dia juga memiliki deposit dalam jumlah cukup besar.

Indonesia tidak boleh lagi keasyikan menjual bahan mentah karena kurang bernilai tambah. Rakyat melihat belum ada totalitas untuk hilirisasi mineral yang bisa memperluas lapangan kerja. Mestinya, ekeksploitasi sumber daya alam (SDA) diikuti dengan pembangunan rantai nilai lain seperti smelter dan sektor hilir atau penunjang lainnya. Dengan begitu, dapat memaksimalkan manfaat ekonomi secara jangka panjang.

Masyarakat geram atas sikap FI yang ingkar membangun smelter. Perusahaan itu sudah merasa nyaman hanya mengekpor konsentrat karena biaya pajak rendah disbanding memurnikan konsentrat jadi emas batang di Indonesia. Selama ini, FI berdalih sudah memiliki 26 persen saham di PT Smelting Gresik, Jawa Timur dengan kapasitas satu juta ton per tahun. PT Smelting tersebut pabrik pemurnian yang 60,5 persen sahamnya dimiliki perusahaan manufaktur semen, tembaga, dan aluminium asal Jepang, Mitsubishi Materials Corp. Sisanya, milik FI.

Namun, smelting Gresik itu belum menyerap mayoritas produksi konsentrat FI. Padahal, total produksi konsentrat tambang di Grasberg, Tembagapura, Papua, sejak 2016 tercatat sekitar 2,5 juta ton pertahun. Dari total itu, sekitar 60 persen mineral konsentrat masih diekspor. Sisanya, diolah di Gresik.

FI pernah berjanji membangun smelter berkapasitas tiga juta ton dengan nilai investasi 2,3 milliar dollar AS. Namun, janji tersebut hilang tertiup angin. Alasannya, pembangunan belum diselesaikan karena belum ada kepastian kelanjutan izin operasi dari pemerintah. Adapun dalam dokumen, pembangunan smelter setidaknya membutuhkan lahan minimal 35 hektare dan infrastruktur pelabuhan 35.00 deadweight tonnage (DWT). Selain itu, dibutuhkan jalan, jembatan, listrik, gas alam, air proses, dan air laut.

Sebenarnya, pembangunan infrastruktur yang tengah digenjot pemerintahan merupakan momentum industri tambang pengolahan seperti besi, tembaga, aluminium, bahan konstruksi, batu bara dan lainnya. Analoginya, untuk besi saja, misalnya, semua pembangunan infrastruktur tersebut membutuhkan besi seperti pembangkit listrik, jalan, kereta api, waduk, bendungan, pelabuhan, dan kilang minyak. Semua perlu bahan hasil tambang.

Momentum bisa hilang jika smelter baru didirikan saat pembangunan besar-besaran sudah selesai. Smelter akan kesulitan mendapat pasar. Hasil produksi smelter tak terserap pasar dan harganya bisa anjlok. Ujungnya, akan mempengaruhi keekonomian produksi smelter. Hilirisasi driven-nya adalah pasar. Kalau pasarnya tidak ada atau berkurang, bisa mati. Terkait hal ini, pemerintah Tiongkok mengumumkan akan membangun jaringan kereta api ribuan kilometer. Banyak pedagang Tiongkok berburu bijih besi ke Indonesia.

Mestinya, pascapenandatanganan divestasi saham FI, Indonesia sibuk membangun infrastruktur hilirisasi berupa smelter berbagai jenis, seperti fasilitas Top Blown Rotary Converter (TBRC) yang mampu mengolah ratusan ribu ton anoda slime per tahun, dengan rata- rata kandungan logam emas satu persen per satu ton anode slime. Selama ini fasilitas TBRC yang telah dibeli PT Antam kapasitasnya masih sangat kecil.



Sudah Muak

Rakyat sudah muak melihat perpanjangan izin ekspor konsentrat FI yang hingga kini sudah selama enam kali. Tak pelak, perpanjangan izin ekspor menjadi modus untuk meningkatkan produksi dan penjualan demi meningkatkan keuntungan. Pada perpanjangan izin ekspor ke-3, FI meningkatkan produksi dan ekspor atau penjualan konsentrat menjadi 775.000 ton dari 580.000 ton.

Begitu juga saat pemerintah kembali memberi izin ekspor ke-4, dia memanfaatkan fasilitas perpanjangan izin untuk meningkatkan produksi dan penjualan menjadi 1,03 juta ton. Perpanjangan izin ekspor ke-5 mulai 9 Agustus 2016 hingga 11 Januari 2017 langsung dimanfaatkan FI untuk menggenjot produksi hingga 1,4 juta ton. Setelah mengantongi izin ekspor ke-6 hingga kini dia semakin agresif menggenjot produksi konsentrat sampai lebih dari 1,6 juta ton.

Jika dihitung secara total perpanjangan izin ekspor sejak 2014 hingga Januari 2017 saja FI telah mengeruk 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 troy ons emas. Total uang yang diperoleh FI dari dua tahun saja menikmati fasilitas perpanjangan izin ekspor mencapai 256 milliar dollar AS atau 3.328 triliun rupiah. Selama ini belum ada transparansi hasil usaha FI dan belum ada instrumen tepat pemerintah untuk audit investigasi yang menyebabkan ketimpangan bagi hasil dan tidak optimalnya perpajakan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyesalkan FI yang tidak menindaklanjuti audit Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang telah diserahkan kepada DPR. Berdasarkan hasil audit ada masalah lingkungan. Penggunaan hutan lindung menyalahi aturan dan pembuangan limbah hasil penambangan (tailing) telah mencemari lingkungan, termasuk laut sekitar. Dalam audit tersebut, potensi kerugian negara atas kerusakan ekosistem di sekitar area kontrak karya (KK) FI mencapai 185 triliun rupiah.

Pelanggaran penggunaan kawasan hutan lindung oleh FI, bertentangan dengan UU Kehutanan 41/1999 juncto UU 19/2004 yang mengatur izin pinjam pakai menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu. Sementara itu, pencemaran limbah terjadi karena FI belum melaksanakan seluruh ketentuan teknis pengelolaan tempat penampungan limbah. Banyak limbah tak tertampung.