Soal Larangan Ekspor Nikel, Luhut: RI Bisa Dapat Rp 168 T
Metrobatam, Nusa Dua – Pemerintah bakal mempercepat aturan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah yang sebelumnya dipasang tahun 2022. Percepatan larangan ini dilakukan untuk bisa meningkatkan nilai tambah terhadap produk hilirisasi.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan larangan resmi tersebut akan diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yang pasti, kata Luhut, aturan terkait larangan itu sudah tersedia. Read More
Jejak Tri Susanti, Caleg Gerindra yang Jadi Korlap Aksi di Asrama PapuaSoal Calon Lokasi Ibu Kota Baru, Ramai-ramai Jual Tanah via OnlineMenkes Minta TNI Perketat Pengamanan Rumah Sakit di Sorong
“Saya kira tunggu aja nanti dari presiden. Tapi saya ingin sampaikan UU kan sudah ada. Minerba itu. Tapi yang paling penting seperti yang sering saya bilang. Nilai tambah,” kata Luhut di kawasan Nusa Dua, Bali, Rabu (21/8/2019).
Luhut mengatakan, larangan ekspor tersebut ditujukan untuk grade bawah 1,7% sehingga bisa diekstrak menjadi cobalt. Nantinya, hasil ekstrak itu bakal menjadi material baterai lithium. Dengan begitu, maka Indonesia bisa menjadi produsen baterai lithium dengan nilai tambang yang tinggi.
“Dan 70% dari itu semua ada di Indonesia. Jadi kita akan menjadi produce lithium baterai terbesar di dunia. Artinya apa? Kita jadi global player. Kan nilai tambah. Jadi jangan sekarang karena dia ekspor dapat sedikit-sedikit, lantas dia korbankan satu planning besar,” katanya.
“Saya lapor presiden mengenai ini dan presiden sangat paham. Karena dengan ditutup nanti, waktu akan ditentukan presiden, itu kita akan bisa melihat investasi sampai tahun 2023 itu US$ 18-70 miliar. Dan ekspor kita by the time akan sampai kira-kira US$ 34 miliar,” sambung Luhut.
Luhut juga menegaskan tak ada lobi-lobi dari investor smelter China seperti kabar yang beredar terkait dengan pelarangan ekspor bijih nikel ini.
Luhut memberi contoh, jika Indonesia melakukan ekspor nikel semata maka yang diraup hanya US$ 600 juta hingga US$ 700 juta saja. Sementara jika ada nilai tambah dan hiliirisasi dengan diolah di smelter, maka Indonesia bisa ekspor stainless steel dengan nilai mencapai US$ 12 miliar atau setara Rp 168 triliun.
“Kamu ekspor nikel hanya dapat US$ 600-700 juta. Sekarang kamu bikin added value, kamu dapat tahun lalu kita sudah ekspor stainless steel US$ 5,8 miliar tahun ini US$ 7,5 miliar, tahun depan itu akan US$ 12 miliar. Dan akan terus bertambah sejalan dengan investasi,” kata Luhut. (mb/detik)