Stop Ekspor Konsentrat Freeport, Pengamat UGM: Perundingan Harus Menguntungkan Negara
JAKARTA – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) cenderung jeblog, khususnya dalam perundingan pemerintah dengan PT Freeport Indonesia.
“Bargaining posisition Tim Perundingan Kementerian ESDM merosot, sedangkan posisi Freeport Indonesia semakin menguat. Kemerosotan bargaining posisition itu lebih banyak disebabkan oleh beberapa keputusan blunder Kementerian ESDM di tengah perundingan yang lagi berlangsung. Keputusan memberikan izin sementara bagi Freeport Indonesia untuk ekspor konsentrat nyata-nyata melemahkan posisi Indonesia,” ujar Fahmy dalam diskusi bertajuk Menakar Kinerja Kementerian ESDM Semester I 2017 di Jakarta, Selasa (15/8).
Selain itu, kata Fahmy yang juga mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini menegaskan, adanya isyata perpanjangan kontrak Freeport Indonesia selama 10 tahun, yang bisa diperpanjang 2×10 tahun semakin melemahkan bargaining posisition Indonesia yang menempatkan posisi Freeport Indonesia di atas angin.
“Dengan posisi di atas angin, Freeport diperkirakan akan tetap menolak keras semua tuntutan Indonesia. Kendati izin eskpor konsentrat masih sementara, Freeport merasa sangat percaya diri bahwa pemerintah Indonesia akan selalu menginjinkan Freeport untuk ekspor konsentrat, tanpa harus bersusah payah membangun smelter,” tuturnya.
Menurutnya, Freeport tidak akan pernah melepas kepemilikan saham mayoritas dengan divestasi 51 persen, Freeport maunya divestasi maksimal 30 persen. “Freeport akan tetap memaksakan penggunaan tax rezim naildown (besaran pajak tepap), bukan prevailling”.
Agar hasil perundingan lebih menguntungkan negara, kata Fahmy, izin ekspor konsentrat sementara harus dihentikan sat berakhir pada September 2017. “Jangan pernah mengizinkan kembali. Alasannya, izin sementara ekspor konsentrat selain melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, juga melemahkan posisi Indonesia dalam perundingan dengan Freeport,” ungkapnya.
Dalam perundingan itu, lanjut dia, pemerintah harus tetap tekeuh mempertahankan semua tuntutan, yaitu perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), beserta seluruh persyaratan IUPK terkait kewajiban membangun smelter, divestasi saham 51 persen, dan tax rezim prevailing.
“Kali ini pemerintah harus berani memutuskan stop izin konsentrat hingga tuntutan Indonesia dipenuhi oleh Freeport. Pemerintah juga harus berani mengatakan kepada Freeport ‘Take it or leave it’, jika Freeport menolak tuntutan Indonesia,” pungkasnya.