Stop Ekspor Nikel Demi Nilai Tambah Industri Pertambangan
(Beritadaerah – Nasional) Polemik nikel antara pemerintah dan pengusaha serta penambang nikel sudah memasuki babak akhir. Mereka akhirnya sepakat untuk menyetop ekspor nikel mulai 1 Januari 2020.
Nikel merupakan komoditas logam strategis yang dimiliki Indonesia. Indonesia menguasai 23,7% pasar dunia dan menjadi eksportir nikel nomor 6 dari 10 negara produsen nikel terbesar di dunia pada 2016.
Sebagaimna disampaikan oleh Kepala BKPM Bahlil Lahadalia saat menggelar konferensi pers di kantornya, Selasa (12/11/2019),”Tolong kasih tahu ke penjuru dunia, penambang dan pengusaha smelter di Indonesia telah satukan tekad. Kami tidak mau ekspor ore [bijih nikel] per 1 Januari 2020”.
Kondisi ini disambut positif oleh Ketua Indonesia Mining Institute, Irwandy Arif, yang juga adalah pengamat pertambangan dari ITB. Menurutnya, penyelesaian ini merupakan bentuk kemajuan bagi industri pertambangan.
“Apa yang dilakukan pemerintah sebuah langkah bagus bagi pengembangan industri dalam negeri. Hanya, pemerintah juga perlu membuat suatu aturan untuk mendukung kebijakan larangan ekspor nikel itu. Jangan sampai perusahaan yang sudah mendapat izin ekspor hingga 2020, akan mendapat masalah di kemudian hari,” tambahnya.” kata Irwandy, Kamis (14/11).
Irwandy juga mengingatkan pemerintah agar tetap memperhatikan dan melindungi penambang dan pengusaha smelter yang memiliki izin ekspor hingga akhir Desember 2019. Irwandy menjelaskan bahwa pemberlakuan larangan ekspor nikel memberikan manfaat jangka panjang bagi industri nikel.
Dengan adanya larangan ekspor, maka Indonesia akan fokus mengembangkan komoditas nikel menjadi produk hilir berupa baterai yang harganya bisa lebih tinggi berlipat-lipat.
“Pastinya dalam jangka panjang, ke depannya memang akan bermanfaat bagi industri baterai. Tentu menjadi nilai tambah bagi industri pertambangan kita,” sambung Irwandy.
Industri nikel Indonesia diprediksi bakal meningkat pesat jika dilakukan hilirisasi karena nilai ekonomis produk hilir bisa mencapai US$17 ribu per ton atau sekitar Rp238 juta. Sementara produk hulu yang dijual Indonesia saat ini hanya US$40-45 per ton bijih atau sekitar Rp560-630 ribuan.