TANJUNGPINANG – NAMUN, untuk mengeskpor bauksit tidak segampang selama ini. Pemerintah memberi syarat yang tidak mudah. Misalnya, harus mengurus kuota ekspor ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI. Membangun smelter hingga kadar pencucian yang tinggi.
Kepala Dinas Pertambangan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemprov Kepri, Amjon mengatakan, pemerintah pusat melalui Kemendag dan Kementerian ESDM RI sudah sama-sama sepakat mendorong pemerintah provinsi untuk melakukan aktivitas tambang.
Perusahaan tambang sudah bisa mengekspor bauksit namun dengan kadar pencucian (washed bauxite) hingga 42 persen. Sehingga, nilai jual bijih bauksit itu makin tinggi. ”Tapi harus dapat persetujuan. Mereka harus urus kuota dulu ke Mendag,” ujar Amjon, kemarin.
Kepada para penambang, kementerian terkait juga mewajibkan membangun smelter kurun waktu 5 tahun harus rampung sejak ekspor bauksit dimulai. ”Kalau mereka (penambang) sudah selesai urus, mereka diminta dalam waktu lima tahun harus membangun smelter dan itu harus jadi,” tegasnya.
Pihak perusahaan tambang juga diwajibkan untuk memperhatikan lingkungan. Tidak boleh asal tambang. Harus direklamasi kembali. Jangan seperti selama ini, banyak daerah bekas tambang yang tandus. ”Makanya syaratnya komplit dan harus sesuai prosedur serta izin dan ketentuan yang sudah dibuat. Waktu lima tahun ini, mereka dibenarkan mengekspor ke luar negeri, tapi wajib membangun smelter,” tambahnya.
Lebih jauh Amjon menuturkan, pihaknya sangat membuka diri terhadap pengusaha tambang yang sudah siap menggelar aktivitas tambang di Kepri.
Dana Reklamasi Terkumpul Rp 237 Miliar Jumlah total dana reklamasi dan dana pascatambang di empat kabupaten/kota di Provinsi Kepri mencapai Rp 273 miliar. Dengan rincian, Kabupaten Bintan Rp 129 miliar, Kabupaten Karimun Rp 52 miliar, Kota Tanjungpinang Rp 32 miliar, Kabupaten Lingga Rp 22 miliar dan Kabupaten Natuna Rp 351 juta.
Amjon menyampaikan, perusahaan tambang yang ingin mencairkan dana tersebut dapat mengajukan permohonan ke Pemprov Kepri. ”Perusahaan-perusahaan yang sudah tidak lagi melaksanakan kegiatan tambang, diperbolehkan untuk mengusulkan pencairan dana reklamasi dan reklamasi pascatambang ke kita,” ujarnya, Senin (4/9).
Dipaparkannya, dalam pengusulan untuk pencairan dana tersebut, pihak perusahaan wajib melibatkan konsultan publik. Nantinya, konsultan publik itulah yang akan menguji kegiatan reklamasi dalam bentuk apa yang akan dilakukan di area pascatambang. ”Setelah dia (konsultan publik, red) lapor ke kita, baru kita uji ke lapangan. Kalau tidak cocok kita minta untuk diperbaiki, kalau cocok baru dipresentasikan,” jelasnya.
Jika seluruh tahapan selesai, baru kemudian pihaknya akan melibatkan Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) dan pihak kepolisian untuk mengawal pencairan dana tersebut. ”Biar lebih transparan saja nanti,” tuturnya.
Amjon juga menyampaikan, untuk dana reklamasi itu sendiri kini tetap disimpan di BPR milik pemerintah daerah. Namun, untuk pencairan dana tersebut tetap harus melalui Pemerintah Provinsi Kepri. ”Karena berdasarkan Undang-Undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penggunaan dana tersebut harus melalui gubernur. Tidak lagi di kepala daerah kabupaten atau wali kota,” sebutnya.
Setakat ini, lanjutnya, sudah ada tiga perusahaan yang mengajukan permohonan untuk pencairan dana reklamasi tersebut. Ketiga perusahaan itu berasal dari Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang. Ekspor bauksit dilarang sejak Januari 2014. Sejak itu, ekonomi di Pulau Bintan, Karimun dan Lingga kian lesu. Hanya saja, banyak daerah yang gersang akibat bekas penambangan itu.
Ekspor bauksit bisa dilakukan apabila sudah diproses atau dimurnikan di smelter. Sehingga bernilai jual tinggi. Karena itu, pabrik smelter wajib dibangun bila ingin mengekspor hasil olahan bijih bauksit. Namun, untuk membangun smelter ini butuh waktu 3-5 tahun dan modalnya besar. Sekarang, pemerintah kembali membuka izin ekspor bauksit mentah tapi sekaligus membangun smelter.
Pasca berakhirnya relaksasi ekspor konsentrat (mineral yang sudah diolah tetapi belum sampai tahap pemurnian) per 11 Januari 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 (Permen ESDM 5/2017), dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 (Permen ESDM 6/2017).
Aturan baru ini dinilai membuka kembali keran ekspor beberapa komoditas mineral mentah yang sebelumnya ditutup pada 11 Januari 2014. Permen ESDM 5/2017 membuka peluang ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen (kadar rendah) dan bauksit yang telah dicuci (washed bauxite) dengan kadar A12O3 lebih dari 42 persen yang tidak terserap oleh smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral) di dalam negeri.(MARTUNAS-SUHARDI)