JAKARTA -- Pembangunan proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral tambang (smelter) oleh PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, tidak menunjukkan progres yang begitu positif. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga saat ini masih mengkaji progres yang dicapai Freeport dalam membangun smelter Gresik.
Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, lambannya progres pembangunan smelter ini bukan semata karena Freeport tak patuh. Sebagai sebuah badan usaha, banyak faktor yang memengaruhi aksi korporasi, termasuk yang berkaitan dengan pembangunan smelter.
Hal ini, lanjut Sudirman, tak lepas dari sikap perusahaan asal AS tersebut yang masih menunggu kepastian perpanjangan kontrak karya. "Karena smelter perluasan Gresik itu hanya feasible kalau pasokan bahan mentah ada. Pasokan bahan mentah ada kalau tambang bawah tanah dibangun. Karena yang atas tanah sudah mau habis. Tambang bawah tanah dibangun kalau sudah ada kepastian masa depan mau gimana. Ini kan satu rangkaian yang mesti dipahami masyarakat," ujarnya di Jakarta, Selasa (26/7).
Kegiatan Freeport sendiri juga dinilai ikut terdampak oleh rendahnya harga komoditas tambang, termasuk tembaga. Sudirman mengaku bahwa pemerintah berupaya merumuskan regulasi yang tidak terlalu mencekik industri di kala rendahnya harga komoditas, tapi di satu sisi tidak menggangu penerimaan negara.
Pemerintah, lanjut Sudirman, tidak membunuh industri yang justru bisa berakibat pada semakin lambatnya ekonomi nasional. "Kita selalu ingatkan. Terus ingatkan kontrak, ingatkan aturan. Segala situasi kita sampaikan. Risiko kita sampaikan. Kewajiban kita sebagai regulator mengingatkan supaya seluruh badan usaha ikuti aturan kita," katanya.
Progres pembangunan smelter di Gresik sebetulnya memiliki arti penting bagi Freeport. Alasannya, pembangunan smelter menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk mengeluarkan izin ekspor konsentrat bagi Freeport.
Agustus mendatang, periode izin ekspor harus diperpanjang lagi oleh Freeport. Per Januari tahun ini, progres pembangunan smelter Gresik tercatat masih 14 persen.
Dari Papua dilaporkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan dukungan agar Pemerintah Kabupaten Mimika Papua dapat mengelola dan memanfaatkan limbah pasir sisa tambang (sirsat) atau tailing PT Freeport Indonesia untuk menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis.
Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Pemkab Mimika Marthen Paiding mengatakan, dukungan KLH tersebut dikemukakan saat pertemuan dengan Pemkab Mimika yang juga dihadiri oleh perwakilan manajemen Freeport di Jakarta, beberapa waktu lalu.
"Pemkab Mimika sudah mendapat lampu hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk dapat memanfaatkan tailing yang ada, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi daerah. Kementerian mempersilakan Pemkab Mimika mengajukan perizinan," kata Marthen. Marthen menjelaskan, pertemuan di Jakarta tersebut dilakukan agar Pemkab Mimika mendapat perizinan dari KLHK, sehingga dapat mengelola tailing Freeport.
Hal ini penting mengingat tailing masih dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014. rep: Sapto Andika Candra/antara, ed: Muhammad Iqbal