Metrotvnews.com, Jakarta: Program hilirisasi sektor pertambangan nampaknya tidak akan berjalan semenjak dikeluarkannya kebijakan relaksasi ekspor.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan semula pemerintah berjanji akan konsisten menjalankan Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 untuk memperbesar nilai tambah melalui program hilirisasi.
Namun kenyataannya, memasuki tahun ketiga pemerintahan, program hilirisasi tinggal angan-angan. Pemerintah mengizinkan kembali mengekspor konsentrat, mineral mentah kadar rendah untuk bauksit, serta nikel.
"Kebijakan hilirisasi merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945 demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata Marwan dalam diskusi di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis 20 Juli 2017.
Marwan juga menjelaskan, dengan relaksasi itu justru mengurangi kesempatan negara berupa PDB, PDRB, penerimaan pajak, investasi luar negeri, perputaran kegiatan ekonomi dan pendapatan masyarakat.
"Kebijakan relaksasi pun akan menghambat penyediaan bahan baku industri di dalam negeri, yang berakibat terkurasnya devisa untuk melakukan impor," imbuh dia.
Adanya relaksasi ekspor yang dibuat pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri Nomor 5 dan 6 Tahun 2017 itu juga memberikan sinyal yang buruk bagi investasi pembangunan smelter atau bahkan bagi iklim investasi secara keseluruhan.
"Dengan relaksasi pemerintah juga telah mengkhianati komitmen yang dibuat dengan para kontraktor yang telah melakukan investasi pembangunan smelter dalam 2-3 tahun terakhir," ucap dia.
Akibatnya, lanjut Marwan, dari relaksasi itu mengubah volume ekspor-impor konsentrat berubah, harga komoditas turun dan kelayakan investasi smelter pun ikut terganggu.
"Faktanya, dari 12 smelter bauksit dan nikel yang direncanakan dibangun pada 2015, ternyata yang terealisasi hanya lima smelter atau dari empat yang direncanakan pada 2016, hanya dua smelter yang terealisasi," tutup dia.