Tanpa Smelter, Pemerintah Tak Tahu Potensi Emas Freeport
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mengaku tak tahu menahu mengenai potensi emas PT Freeport Indonesia. Hal ini disinyalir karena perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut tidak memiliki fasilitas pengolahan (smelter).
"Kalau ada smelter, kami tahu apa saja isi konsentrat. Selama ini, kami tidak tahu berapa banyak emas di dalam," ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Selasa (21/2).
Pernyataan tersebut disampaikannya untuk menegaskan kembali hal-hal yang seharusnya dikerjakan Freeport sejak beberapa tahun sebelumnya. Kewajiban membangun smelter sudah diatur tujuh tahun lalu dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
Lihat juga: Tanpa Freeport, Bea Cukai Klaim Penerimaan Aman Tahun lalu, Freeport mengklaim telah merogoh kocek US$212,9 juta untuk pembangunan investasi fasilitas pemurnian. Namun, hingga saat ini belum ada pembangunan fisik yang terjadi di atas lahan milik PT Petrokimia Gresik.
Menurut Luhut, pembangunan smelter menjadi salah satu jalan keluar yang ditawarkan pemerintah kepada Freeport dalam proses renegosiasi kontrak yang perlu dipenuhi perusahaan sebelum 2021 nanti.
"Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kami berikan izin ekspor, negosiasi enam bulan. Kau harus bangun smelter lima tahun. Nanti bersama kami hitung berapa yang kau boleh ekspor, kemajuan dari smelter itu. Enggak boleh lagi dong main-main. Dari dulu kan begitu," terang dia.
Lihat juga: Pemerintah Minta Freeport Angkat Kaki, jika Kalah Arbitrase Hal ini menjadi satu dasar keyakinan Luhut bahwa pemerintah akan menang apabila Freeport resmi menempuh jalur peradilan internasional atau arbitrase untuk mencari kesepakatan aturan izin rekomendasi ekspor dengan ketentuan status Kontrak Karya (KK).
Alasan lain yang mendasari rencana arbitrase, sambung Luhut, bahwa Freeport keberatan dengan kewajiban divestasi hingga 51 persen bagi pemegang IUPK.
"Harusnya kita menang dong. UU Indonesia, UU 2009, harusnya dia sudah buat smelter, tapi tidak. Harus divestasi 51 persen, dia tidak. Apa lagi? Sudah waktunya lah, setelah 50 tahun mereka mengelola Freeport, masa Indonesia enggak boleh 51 persen?," tegas Luhut. (bir)