JAKARTA – Tarik ulur perizinan ekspor bijih mineral atau ore nikel menjadi perbincangan akhir-akhir ini. Pasalnya saat ini izin ekspor nikel bisa dilakukan tapi dengan syarat.
Bahkan, untuk saat ini berdasarkan surat resmi DJBC Kementerian Keuangan dengan nomor surat 1076/BC/2019 hanya ada 9 perusahaan yang telah memenuhi tiga kewajiban untuk melakukan ekspor bijih nikel.
memang pelarangan tersebut dikarenakan, nikel dengan kadar rendah sudah bisa diolah di dalam negeri, karena perkembangan teknologi yang sudah maju. Apalagi nikel dapat digunakan untuk bahan baku komponen mobil listrik.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menghentikan pemberian insentif ekspor (pelarangan ekspor) hasil tambang mineral jenis nikel. Penghentian ini berasumsi banyaknya smelter nikel yang dibangun di Indonesia.
Izin ekspor nikel akan diberikan namun harus memenuhi beberapa syarat yang diajukan pemerintah. Berikut ini adalah fakta-fakta dibalik tarik ulurnya izin ekspor nikel yang diringkas Okezone, Senin (18/11/2019):
Tambang
1. Ekspor Nikel Akan Dilarang 1 Januari 2020 Mendatang
Kepastian larangan tersebut berdampak pada penerimaan bea keluar nikel mentah melonjak.
"Memang peningkatan volume ekspornya (nikel) terjadi. Penerimaan nikel sampai 31 Oktober melonjak tajam sampai Rp1,1 triliun," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Heru Pambudi.
2. Ekspor Bijih Dilarang, Nikel Harus Dijual Dulu ke Pengusaha Smelter
Karena dilarang, perusahaan akan menjual bijih nikelnya kepada pengusaha smelter dalam negeri dengan harga internasional.
"Tolong beri tahu dunia kalau pengusaha penambang dan smelter di Indonesia telah bersepakat kami tidak mau ekspor ore mulai 1 Januari 2020," ungkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. 3. Harga Nikel RI Jadi USD30/Ton
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyatakan, harga ini sesuai kesepakatan antara Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I), Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Perusahaan Smelter. Harga berlaku untuk kadar bijih nikel di bawah 1,7%.
Namun atas dasar kesadaran yang tidak ingin melakukan ekspor juga ada. Maka dilakukan kesepakatan bahwa harga ore yang diterima harganya harga internasional.
Harga yang diajukan sudah dikurangi biaya pengiriman dan pajak. "Ini kita lakukan kesepakatan bahwa harga ore yang diterima harganya harga internasional, ongkos dikurangi transhipment kurangi pajak, hitung-hitungan USD30 per metrik ton," tukasnya.
3. Didukung Juga oleh Pengusaha Tambang
Asosiasi Penambangan Nikel Indonesia (APNI) siap mendukung program pemerintah dalam hal hilirisasi, pengolahan dan pemurnian smelter nikel.
“APNI sangat mendukung segala bentuk kebijakan dan regulasi yang diterbitkan pemerintah sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia,” ujar Ketua Umum APNI Insmerda Lebang.
4. Diizinkan, Asal Ikut Aturan
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyatakan pihaknya akan memberikan izin ekspor kepada perusahaan yang tidak melanggar aturan. Kalau perusahaan yang belum memenuhi syarat, belum diperolehkan dan akan dilakukan evaluasi mendalam.
Sama halnya dengan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang mengungkapkan, beberapa perusahaan tetap diperbolehkan ekspor bijih nikel (ore). Asalkan perusahaan tersebut tidak melanggar aturan dan masih memiliki kontrak ekspor.
"Kalau ekspor ini kalau sesuai aturan yang sudah ada kontrak dan sesuai aturan ya kita enggak bisa menghambat tapi harus sesuai aturan. Kalau yang tidak sesuai aturan ya tidak bisa," tuturnya.
5. Terdapat 9 Perusahaan yang Mengantongi Izin Ekspor Nikel
Berdasarkan surat resmi Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dengan nomor surat 1076/BC/2019, terdapat sembilan perusahaan yang dinilai telah memehuhi tiga kewajiban untuk melakukan ekspor bijih nikel.
Tiga syarat itu adalah ketentuan kuota ekspor, kadar nikel yang rendah mencapai 1,7%, dan perkembangan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Sembilan perusahaan yang memenuhi syarat itu adalah PT Macika Mada Madana, PT Aneka Tambang Tbk, PT Rohul Energi Indonesia, PT Sinar Jaya Sultra Utama, PT Wana Tiara Persada, PT Trimegah Bangun Persada, PT Gane Permai Sentosa, PT Tekindo Energi, PT Gebe Sentra Nickel.