Tegas! Pemerintah Tolak Usulan Freeport Tak Bangun Smelter
Jakarta, CNBC Indonesia - President dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoran Richard Adkerson sempat mengusulkan agar PT Freeport Indonesia tidak membangun smelter baru. Namun pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara tegas menolak usulan tersebut.
Penolakan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin. Dia menegaskan, berdasarkan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan perjanjian, Freeport harus membangun smelter baru.
"UU dan perjanjian memerintahkan Freeport membangun smelter," tutur Ridwan melalui pesan singkat kepada CNBC Indonesia, Selasa (27/10/2020).
Saat ditanya apakah artinya usulan Richard Adkerson itu akan ditolak pemerintah, dia pun menegaskan, "Ya (usulan tersebut ditolak)."
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, dengan membangun smelter baru, sebanyak 300 ribu ton katoda bakal diserap domestik dan berdampak pada pertumbuhan konsumsi sebesar 10% per tahun.
Bila dihitung selama 17 tahun beroperasi, total penerimaan tambang jika tidak membangun smelter US$ 24,80 miliar, namun jika membangun smelter US$ 21,20 miliar. Sementara total penerimaan negara dari hulu jika tidak membangun smelter sebesar US$ 46 miliar dan jika membangun smelter US$ 43,70 miliar.
Nilai ekspor katoda jika tidak membangun smelter baru memang lebih tinggi yakni US$ 1,81 miliar dibandingkan jika membangun smelter baru US$ 1,45 miliar.
Namun dari sisi penerimaan negara di industri hilir akan jauh lebih tinggi jika membangun smelter yakni mencapai US$ 15,56 miliar dibandingkan jika tidak ada smelter baru hanya US$ 2,53 miliar.
Begitu pun dengan kontribusi nilai tambah terhadap produk domestik bruto (PDB) per tahun akan meningkat pesat ketika dibangun smelter baru yakni mencapai US$ 6,83 miliar dibandingkan jika tidak dibangun smelter hanya US$ 1,81 miliar.
Di sektor ketenagakerjaan juga akan berdampak pada terjadinya peningkatan penyerapan tenaga kerja menjadi sebanyak 30 ribu, sementara jika tidak membangun smelter baru, penyerapan tenaga kerja hanya seribu orang.
Melihat data tersebut, artinya dengan membangun smelter tembaga baru, memang berpotensi menurunkan pendapatan negara di sektor hulu, namun negara memperoleh pendapatan yang lebih besar di sektor hilir, ditambah dengan membuka lapangan kerja baru.
Adapun realisasi pembangunan smelter sampai Juli 2020 mencapai 5,86% dan pemerintah tetap menargetkan proyek smelter baru ini rampung 100% pada Desember 2023, meski pada beberapa bulan lalu PT Freeport Indonesia meminta adanya penundaan karena terkendalanya pengerjaan proyek akibat pandemi Covid-19.
Sebagai informasi PT Freeport Indonesia (PTFI) beroperasi di Indonesia sejak 1973 dengan status Kontrak Karya. Lalu, akhirnya berganti status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi mulai 21 Desember 2018 dengan 51% saham dimiliki negara melalui Holding BUMN Pertambangan MIND ID.
Dalam IUPK PTFI dan UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mewajibkan pembangunan smelter untuk seluruh penambangan di dalam negeri. Sejak 2018 PTFI sudah menyiapkan lahan untuk membangun smelter di JIIPE Gresik dan direncanakan rampung pada 2023.
Baca: Wow! Umur Tambang Freeport Bisa Sampai 2070! Sebelumnya, President dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoran Richard Adkerson mengusulkan agar PT Freeport Indonesia tidak membangun smelter baru, menjadi 2024 karena proyek tertunda akibat pandemi Covid-19.
Adkerson menyebut, sebagai gantinya, pihaknya mengajukan opsi lain yang bisa menjadi pertimbangan yakni memperluas smelter yang telah ada di Gresik yang dioperasikan PT Smelting dengan menambahkan pabrik logam mulia di dalamnya.
"Jadi, alternatifnya daripada membangun smelter baru, kita memberikan opsi bagaimana agar memperluas smelter Gresik yang sudah ada dan menambahkan pabrik logam mulia," ungkap Adkerson dalam conference call tentang kinerja kuartal III Freeport McMoran pada Kamis pekan lalu (22/10/2020).
Akan tetapi, dia mengakui bila hanya memperluas smelter yang telah ada, maka kemungkinan tidak akan mampu menyerap semua produksi konsentrat Freeport ke depan, terutama setelah tambang bawah tanah secara penuh beroperasi. Oleh karena itu, menurutnya perlu ada kesepakatan agar Freeport bisa mengekspor kelebihannya.
"Oleh karena itu, harus ada kesepakatan yang memungkinkan kami untuk mengekspor kelebihannya. Dan kami akan mengajukan itu jika diperbolehkan," tuturnya.
Seperti diketahui, Holding BUMN Pertambangan MIND ID kini menjadi pemegang saham mayoritas di PT Freeport Indonesia (PTFI). Richard mengatakan, hal ini tengah dibahas bersama Kementerian BUMN dan juga kementerian terkait. Bila ini diizinkan, Freeport akan membayar iuran atau bea ekspor (export fee) atas konsentrat yang diekspor tersebut.
Executive Vice President & Chief Financial Officer Freeport McMoran Kathleen Quirk mengatakan investasi yang dibutuhkan untuk ekspansi smelter Gresik ini yakni US$ 250 juta atau sekitar Rp 3,7 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per US$), jauh lebih rendah dibandingkan dengan membangun smelter baru yang diperkirakan mencapai US$ 3 miliar atau sekitar Rp 44,1 triliun.
"Perkiraan sebelumnya untuk smelter green field baru adalah US$ 3 miliar. Dan perkiraan untuk perluasan Gresik untuk 30% perluasan kira-kira US$ 250 juta," jelasnya.