Tim Satgas Harga Nikel Terbentuk, Sudah Ada Temuan?
Jakarta, CNBC Indonesia - Tim pengawas tata niaga nikel domestik telah dibentuk oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pada pertengahan Agustus lalu. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menko Marves RI Nomor 108 Tahun 2020 tentang Tim Kerja Pengawasan Pelaksanaan Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel, yang telah ditetapkan pada 13 Agustus 2020 kemarin.
Lalu selama tim ini bekerja, apakah sudah adakah temuan pelanggaran?
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Djamaluddin mengatakan setelah terbentuknya tim pengawas ini sampai hari ini belum ada temuan pelanggaran.
"Tim pengawas sudah bekerja. Temuan? tidak ada (temuan)," ujarnya singkat kepada wartawan saat ditemui selepas Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VII DPR RI, Kamis, (3/09/2020).
Pengawasan yang dilakukan oleh tim pengawas ini seperti memastikan harga yang digunakan dalam transaksi jual beli bijih sesuai dengan Harga Patokan Mineral (HPM). Selain itu, memastikan bijih yang diperjualbelikan merupakan bijih yang ditambang dari wilayah IUP yang telah berstatus Clean and Clear (C&C) serta sesuai dengan kontrak yang disepakati.
Lalu, tim juga memantau laporan kepatuhan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 yang disampaikan secara triwulanan oleh pelaku usaha pertambangan dan pelaku usaha pengolahan dan pemurnian. Tim pengawas ini diketuai oleh Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim.
Regulasi ini menyebutkan bahwa HPM logam merupakan harga batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. HPM logam ini juga menjadi acuan harga penjualan bagi pemegang IUP dan IUPK untuk penjualan bijih nikel.
Namun apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM logam tersebut, maka penjualan dapat dilakukan di bawah HPM dengan selisih paling tinggi 3% dari HPM tersebut. Namun apabila harga transaksi lebih tinggi dari HPM, maka penjualan wajib megikuti harga transaksi di atas HPM logam tersebut.
Peraturan ini berlaku 30 hari sejak diundangkannya. Artinya, mulai berlaku efektif sejak 14 Mei 2020.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan HPM yang ditetapkan berada di bawah harga pasar internasional dengan tujuan untuk mengembangkan investasi di bidang smelter di dalam negeri. Namun tidak juga berarti harga terlalu rendah karena untuk melindungi keberlanjutan usaha dan profitabilitas penambang.
"Ya US$ 30-32 per ton itu sudah cukup adil karena sudah memperhatikan yang namanya pengelolaan good mining practice," tuturnya di Kantor Kementerian ESDM, Jumat, (07/08/2020).
Artinya, lanjutnya, semua aspek diperhatikan mulai dari lingkungan, konservasi, dan aspek teknis.
"Konservasi yang baik keselamatan kerja yang baik kan membutuhkan cost, cara menambang yang baik itu butuh biaya, oleh karena itu HPM disusun atas dasar kebutuhan biaya plus margin," tuturnya. (*)