Tingkatkan Nilai Tambah, Pemerintah Perlu Dorong Pengusaha Lokal Bangun Hilirisasi
Merdeka.com - Pemerintah diharapkan terus mendorong perusahaan-perusahaan tambang domestik membangun pabrik pemurnian (smelter) dalam negeri untuk peningkatkan nilai tambah (harga jauh lebih baik) dan mekarnya industri di daerah. Jika pengusaha domestik tak memiliki niat membangun smelter, dominasi kepemilikan asing dalam pembangunan pabrik tak terhindar.
"Di smelter nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Halmahera, dominasi perusahaan Tiongkok besar. Mereka sangat bersemangat membangun pabrik smelter nikel, sementara pengusaha domestic enggan bekerjasama membentuk perusahaan patungan membangun smelter. Pengusaha domestic malah ingin menjual mentah barang tambang. Ini tak boleh," ujar Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia Ferdy Hasiman, Selasa (4/8).
Pembangunan pabrik smelter adalah paradigma baru dalam pertambangan kita. Selama ini paradigma tambang kita sangatlah ekstraktif, menjual bahan tambang dengan harga murah, tanpa pengolahan dalam negeri yang membuat negara merugi dan terjadi eksploitasi berlebihan. Pembangunan pabrik smelter dapat memberikan multiplier effect bagi pembangunan nasional. Ini juga adalah perintah UU No 3 Tahun 2020, Tentang Mineral dan Batubara sebagai revisi UU No 4 Tahun 2009.
"UU No 3 Tahun 2020, secara tegas menegaskan agar semua perusahaan tambang domestic wajib membangun pabrik smelter dalam negeri. Ini adalah langkah maju dalam sektor pertambangan yang perlu kita dorong. Jangan ada langkah mundur lagi. Jika ada yang bilang hilirisasi hanya untuk perusahaan asing, tidak sepenuhnya benar juga, karena perusahaan milik negara, seperti Mind Id dan PT Aneka Tambang sekarang sedang gencar membangun pabrik Feronikel di Halmahera dengan kapasitas 13,500 nikel dan Smelter Grade Alumina (SGA) di Mpawah, Kalimantan Barat dengan kapasitas 2 juta ton per tahun.
Pemerintah diharapkan bisa mendorong perusahaan-perusahaan swasta nasional untuk membangun pabrik smelter. Banyak sekali perusahaan nasional yang memiliki banyak konsensi tetapi tidak berniat membangun smelter. Alasan mereka bermacam-macam, seperti tak memiliki pendanaan, proyek tidak ekonomis dan sederetnya. Tetapi alasan itu tidak bisa diterima, karena banyak perusahaan-perusahaan Cina di Sulawesi Tengah (Morowali, Kanowe) yang bersemangat membangun pabrik smelter. Kita tidak bisa mempersalahkan asing kalau masuk, karena pengusaha domestic kita sendiri tak siap. Ketika perusahaan asing masuk, barulah kita protes, padahal perusahaan nasional banyak yang tak berinisiatif membangun pabrik smelter atau melakukan merger dengan beberapa perusahaan untuk membangun pabrik smelter "
Sampai saat ini baru 17 perusahaan yang sudah membangun pabrik smelter. Itu angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Pemda sepanjang tahun 2009-2019 yang mencapai angka 13.000 IUP itu.
"Dari 17 pabrik eksisting itu, yang paling banyak adalah smelter nikel sebanyak 11 pabrik, bauksti 2 pabrik, tembaga 2 pabrik, besi 1 pabrik dan mangan 1 pabrik," terang Ferdy Hasiman.
Pemerintah memang berharap sampai tahun 2020 sudah ada 48-52 pabrik smelter eksisting, karena sekarang masih dalam tahap konstruksi. Tetapi itu bisa saja mundur dari jadwal jika Covid-19 berbuntut panjang. Tetapi untuk jangka menengah dan jangka panjang, pembangunan 48-52 pabrik smelter di tanah air bisa memompa perekonomian nasional dan daerah paska pandemic Covid-19, karena total dana investasi untuk membangun 48 pabrik mencapai 19 miliar dolar.
"Ini tentu bagus sekali untuk memompa perekonomian nasional. Dan yang paling penting kita tak menjual mentah lagi bahan tambang dengan harga murah. Kita bisa mengolah biji nikel menjadi Nicel Pig Iron (NPI), atau pabrik stainless steel atau nikel untuk lithium sebagai bahan baku untuk mobil listrik sebagaimana yang sudah dicanangkan pemerintah. Jadi, kita tak boleh mundur lagi, perusahaan-perusahaan swasta nasional dan asing harus bahu-membahu membangun proyek ambisius untuk peningkatan nilai tambah ini," imbuh Ferdy Hasiman. [hhw]