Total Cadangan Tambang Inalum Diperkirakan Senilai Rp 6.575,8 Triliun
JAKARTA– PT Inalum (Persero), perusahaan induk badan usaha milik negara (BUMN) di sektor pertambangan, diperkirakan memiliki cadangan tambang senilai total US$ 469,77 miliar atau sekitar Rp 6.575,8 triliun (kurs Rp 14.000). Nilai itu berpotensi naik jika memasukkan sumber daya tambang sehingga total mencapai US$ 1,07 triliun atau sekitar Rp 14.980 triliun.
Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Inalum, mengatakan total cadangan terbesar Inalum adalah batubara yaitu sebesar 3,3 miliar ton atau setara US$ 231 miliar. Berikutnya adlah tembaga 19,43 juta ton dengan estimasi senilai US$ 129,53 miliar dan ketiga bauksit sebear 3 juta ton senilai US$ 33,09 miliar. Berikutnya dalah timah sebanyak 377.594 ton senilai US$ 7,66 miliar, perak sebesar 6.181 ton senilai US$ 3,25 ton, dan emas 1.187 ton sebesar US$ 50,55 miliar.
“Bila memasukkan sumber daya tambang, jumlahnya akan lebih besar lagi,” ujar Budi saat buka bersama manajemen Inalum dan direktur utama/direktur anak usaha Inalum, yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan PT Timah Tbk (TINS) di Jakarta, Jumat (18/5).
Batubara yang dikelola Bukti Asam menjadi kontributor terbesar cadangan tambang Inalum, termasuk juga dari sisi potensi nilai cadangan itu. Posisi kedua adalah PT Freeport Indonesia. Kendati di perusahaan pertambangan emas dan tembaga di Tembagapura, Timika, Papua itu Inalum hanya memiliki porsi saham kurang dari 10% dari porsi tembaga jatah perusahaan mencapai terbesar kedua. Tempat berikutnya Aneka Tambang lewat kontribusi cadangan nikel, bauksit, dan emas. Adapun Timah menjadi pemberi kontribusi terkecil karena hanya menghasilkan timah.
Budi menyebutkan, bia termasuk sumber daya, total nilai tambang Inalum mencapai US$ 1,070 triliun atau sekitar Rp14.980 triliun (kurs Rp 14.000). Ini terdriri atas sumber daya batubara sebesar 8,3 miliar ton senilai US$ 581 miliar, bauksit 90,7 juta ton senilai US$ 181,3 miliar, nikel 11,94 juta ton seniai US$ 131,39 miliar. Sisanya berasal dari tembaga sebesar 15 juta ton seniai US$ 100,15 miliar, emas 1.333 ton senilai US$ 56,7 miliar, dan timah sebesar 796.342 senilai US$ 16,16 miliar dan perak 7.595 ton senilai US$ 3,99 miliar.
Budi mengatakan untuk meningkatkan nilai tambah tambang yang diproduksi anak usaha Inalum, perusahaan menggenjot hilirisasi. Berbagai upaya dilakukan antara lain lewat pengembangan sumber energi melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 2X300 megawatt di Tanjung Enim. Ini merupakan kerja sama Bukit Asam dan Inalum. Selain itu mengembangkan PLTU Mempawah berkapasitas 75 MW. “PLTU ini untuk pengembangan smelter grade alumina, dimana bahan baku bauksit berasal dari Antam dan pengembangan pembangkit oleh Bukit Asam,” ujar Budi.
Sementara itu untuk peningkatan nilai tambang mineral, Aneka Tambang dan Inalum membangun refinery alumina berkapaitas 2 juta ton per tahun. Juga pengembangan smelter tembaga yang merupakan kerja sama Inalum dan PT Freeport Indonesia berkapasitas 2 juta ton di Nusa Tenggara Barat. “Inalum, Antam dan Freeport juga bekerja sama dalam pengembangan smeter loga mulia berkapasitas 6.000 ton per tahun di Papua,” ujarnya.
Di luar itu, tambah Budi, Antam mengembangkan smelter Feni Halmahera Timur berkapasitas 13.500 ton per tahun. Sementara Timah membangun advance tin smelter berkapasitas 45 ribu ton di Muntok dan Inalum menggarap aluminium wire rod plant berkapasitas 50 ribu ton per tahun di Kuala Tanjung, Sumatera Utara.
Budi mengakui, dibandingkan para pemain tambang global, posisi Inalum emang masih dibawah Rio Tinto, Glencore, BHPBilliton, Vale, maupun Anglo American. Sepanjang 2017, Inalum memiliki aset US$ 6,8 miliar, jauh di bawah Anglo American sebesar US$ 54 miliar, Rio Tinto US$ 95 miliar, Vale US$ 99 miliar, apalagi Glencore US$ 135 miliar. Begitu pun pendapatan, masih di bawah Anglo Amerincan US$ 26 miliar, apalagi Glencore US$ 205 miliar. Net profit juga US$ 0,5 miliar, jauh dibandingkan Anglo American US$ 4 miliar atau BHPBillioton yang mencapai US$ 6 miliar. Namun, dari sisi return on equity (ROE), Inallum tercatat 12%, lebih baik ketimbang Glencore dan BHPBilliton yang hanya 10%, tapi masih di bawah Vale dan Anglo American yang tercatat 14%. (DR)