Usulan Relaksasi Ekspor Bijih Nikel dan Bauksit akan Merusak Nama Indonesia
JAKARTA - Usulan relaksasi atau permintaan dibukanya kembali kran ekspor bijih nikel dan bauksit dinilai sengaja merusak nama Indonesia dan Presiden Joko Widodo di mata dunia.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo mengatakan, usulan tersebut datang dari perusahaan tambang milik BUMN, yaitu PT Aneka Tambang (Antam) lantaran beralasan bahwa bijih nikel dengan kadar di bawah 1,8% tidak bisa diolah oleh smelter dalam negeri.
“Itu cerita (Antam) bohong belaka. Nickel kadar Ni < 1,8% masih bisa diolah. Bahkan kadar Ni 0,8% saja kami masih bisa mengolah,” kata Jonatan yang juga Direktur Pengembangan PT Indoferro kepada wartawan, Jakarta, Selasa (11/10).
Menurutnya, usulan itu sengaja untuk merusak nama Indonesia dan Presiden dimata dunia. “UU No.4/2009 dilanggar sendiri oleh Pemerintah terutama Pasal 170, dengan menerbitkan PP No.1/2014. Sekarang pelanggaran itu ingin diperluas lagi dengan revisi PP No.1/2014 itu,” tuturnya.
Dikatakannya, memang ada permintaan dari Jepang dan China untuk Nickel dan Bauksit, karena Filipina sudah menutup 20 tambang Nickel dan Malaysia melarang eksport Bauksit.
“Lebih memalukan lagi, Filipina dan Malaysia memuji Indonesia sukses program hilirisasinya. Makanya mereka meniru. Celakanya malah Indonesia sekarang yang mundur kebelakang,” tambahnya.
Lebih lanjut Jonatan menegaskan, smelter di Indonesia yang bisa mengolah Nickel dengan kadar Ni < 1,8% diantaranya PT Vale, PT Gebe, Heng Tay Yuan, Modern Group, Kinlin, Macika, Huadi, Fajar Bhakti, Bintang Smelter, Central Omega dan Indoferro.
“Pokoknya yang menggunakan tungku Blast Furnace pasti bisa, dan lebih efisien. Bahkan, Indoferro beli juga yang kadar 0,8%, 1,2%, 1,4%. Namun produksi kami NPI kadar Ni 2,5% dilarang oleh Pemerintah. Sesuai Permen No.8/2015,” ungkapnya.
Bijih Nikel Kadar Rendah Tak Terserap di Dalam Negeri
Sekretaris Perusahaan PT Antam, Trenggono Sutioso mengatakan, pada prinsipnya Antam sangat mendukung kebijakan hilirisasi yang telah tercantum di UU Minerba. Saat ini, kata dia, Antam telah menambang nikel kadar tinggi untuk kebutuhan smelter milik Antam dengan kapasitas 2,5 juta ton bijih nikel per tahun dan juga memulai memasok bijih nikel ke perusahaan lain di dalam negeri.
Dalam menambang kadar tinggi, lanjut Trenggono, juga tertambang bijih nikel kadar rendah yang terletak diatasnya dengan perbandingan volume yang sama antara kadar rendah dan kadar tinggi.
“Saat ini bijih kadar rendah tertambang belum dapat diolah secara ekonomis didalam negeri karena faktor biaya produksi dan harga nikel yang masih rendah, sehingga potensi bijih kadar rendah hanya sebagai waste yang harus dikelola sebagai faktor biaya,” ujar Trenggono saat dihubungi.
Menurutnya, apabila bijih nikel kadar rendah bisa dimanfaatkan untuk eksport atau konsumsi dalam negeri nantinya, maka akan dapat menciptakan pendapatan bagi begara berupa pajak badan, royalti dan bea keluar, juga menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan perusahaan, dan juga dapat menurunkan biaya produksi kadar tinggi karena dapat didistribusikan biaya juga pada nikel kadar rendah, yang bermuara pada harga bijih nikel di dalam negeri dapat ditekan lebih rendah.
“Antam saat ini sudah melakukan hilirisasi di emas, nikel dan bauksit, dari kegiatan eksplorasi, penambangan, pengolahan dan pemasaran. Saat ini Antam juga sedang membangun smelter-smelter baru yang mendukung hilirisasi, tetap membutuhkan pendanaan yang besar, sehingga bila bijih nikel yang belum dapat diserap dalam negeri dapat dieksport, maka akan sangat membantu Antam dan juga perusahaan lain yang serius membangun hilirisasi,” pungkasnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menegaskan, pemerintah bertekad akan terus dan konsisten untuk menjalankan program peningkatan nilai tambah untuk produk-produk mineral dan batubara sesuai amanat Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Presiden Jokowi meminta agar dalam melaksanakan program hilirisasi ini, seluruh proses peningkatan nilai tambahnya dilakukan di Indonesia.