Vale Indonesia (INCO) akan menghadapi berbagai tantangan hingga sisa tahun 2020
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Awan mendung menggantung di depan PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Setelah berhasil mencatatkan kinerja yang solid sepanjang 2019, INCO diramal sulit mencatat kinerja gemilang pada tahun ini.
Analis Sucor Sekuritas Hasan dalam risetnya pada 25 Februari menuliskan bahwa keuntungan yang dikantongi INCO telah melebihi prediksi dan konsensus. INCO berhasil mengantongi laba bersih senilai US$ 57,4 juta pada tahun lalu. Angka tersebut 124% lebih tinggi dari prediksi Hasan serta 112% dari konsensus.
“Sebenarnya pada semester I-2020 kinerja INCO kurang baik imbas dari perbaikan di Larona Canal Lining and Electric Furnace #4. Untungnya, harga nikel pada semester II-2019 membaik sehingga membuat mereka menghasilkan lebih banyak pendapatan untuk mengompensasi catatan pada semester pertama,” tulis Hasan dalam risetnya.
Baca Juga: Divestasi molor, kinerja Vale Indonesia (INCO) tak terpengaruh
Namun pada tahun ini, Hasan menilai hambatan bagi kinerja INCO datang dari virus corona. Hasan melihat saat ini permintaan terhadap nikel tengah mengalami penurunan seiring kegiatan pertambangan dan smelting di China yang terganggu karena adanya kebijakan lockdown.
“Sebagai tambahan, cadangan global kembali di atas lima pekan konsumsi. Hal ini pada akhirnya akan memperlambat imbas dari kebijakan larangan Indonesia dalam ekspor nikel ore, yang dimulai pada tahun ini,” tulis Hasan.
Setali tiga uang, analis Ciptadana Sekuritas Thomas Radityo dalam risetnya 31 Maret 2020 menuliskan INCO akan dihadapkan pada beberapa kondisi yang kurang menguntungkan. Mulai dari turunnya produksi mobil listrik dan stainless steel hingga ancaman berlebihnya pasokan nikel.
Thomas menulis penjualan mobil listrik tahun ini akan cukup buruk seiring dengan turunnya insentif oleh pemerintah China untuk pembelian mobil elektronik akibat virus corona. Thomas memproyeksikan konsumsi nikel untuk mobil listrik akan melambat pada 2020 sebesar 99 kt atau turun 3% dibandingkan 2019 yang sebesar 102.
Keadaan juga tidak jauh berbeda pada sektor stainless steel yang berkontribusi pada 70% permintaan nikel dunia. China selaku produsen stainless steel terbesar di dunia tengah mengalami penurunan produksi imbas pabrik-pabrik yang mesti tutup karena virus corona. Thomas bahkan menghitung produksi stainless steel akan turun hingga 4% menjadi 23,2 juta ton.
“Dengan terus bertambahnya pasokan sementara pasar cenderung bearish, kami memproyeksikan akan ada kelebihan pasokan hingga 10.000 ton nikel. Sehingga kami menurunkan proyeksi harga nikel sebesar 6,7% menjadi US$ 14.000 per metrik ton pada akhir 2020,” tulis Thomas.
Hasan memproyeksikan harga nikel akan turun sebesar 2,9% pada tahun 2020 ini. Sehingga membuat Hasan memproyeksikan pendapatan INCO akan jauh lebih kecil pada tahun ini menjadi US$ 734 juta. Asal tahu saja, pendapatan INCO pada 2019 sebesar US$ 782 juta.
Kendati demikian, Hasan merekomendasikan untuk membeli saham INCO dengan target harga Rp 3.800 per saham. Thomas juga merekomendasikan untuk beli INCO dengan target harga Rp 3.200 per saham. Adapun saham INCO pada Rabu (9/4) turun 4,33% ke Rp 2.210 per saham.