a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Vale Indonesia (INCO) berharap pada kenaikan harga nikel dan volume produksi

Vale Indonesia (INCO) berharap pada kenaikan harga nikel dan volume produksi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan produksi dan harga komoditas menyebabkan keuangan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) tertekan. Analis berharap kenaikan harga nikel bisa memperbaiki kinerja INCO selanjutnya.

Mengutip laporan keuangan di kuartal I-2019, pendapatan INCO tercatat melemah 25,83% menjadi US$ 126,42 juta dari US$ 170,45 juta di periode yang sama tahun lalu. Penurunan tersebut menyebabkan INCO harus merugi US$ 20,16 juta. Sebagai perbandingan di periode yang sama tahun lalu INCO masih mencatatkan laba bersih sebesar US$ 6,83 juta.


Manajemen INCO sempat menjelaskan, penurunan kinerja disebabkan oleh adanya kombinasi aktivitas pemeliharaan yang telah direncanakan terkait Laroan Canala Relining dan masalah di tanur listrik 4. Sehingga, produksi di kuartal I 2019 lebih rendah sekitar 36% dibandingkan produksi di kuartal IV 2018. Masalah tersebut membuat INCO merevisi produksi nikel matte menjadi 71.000 metrik ton-73.000 metrik ton di tahun ini.

Thomas Radityo, Analis Ciptadana Sekuritas Asia mencatat, penurunan kinerja INCO di kuartal I 2019 terjadi karena harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) yang juga turun 7,8% secara tahunan ke US$ 9.117 per metrik ton.

Namun, di semester II 2019, Thomas memproyeksikan produksi nikel INCO bisa kembali normal. Selain itu, kinerja di semester II 2019 juga bisa didukung oleh kenaikan harga nikel. Mengutip Bloomberg, hingga 15 Juni 2019, harga nikel untuk pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange naik 27,83% ke US$ 13.655 per metrik ton. "Stok di LME menipis harga nikel jadi naik dan membawa sentimen positif untuk INCO," kata Thomas, Selasa (16/7).

Thomas memproyeksikan, ASP bisa membaik ke US$ 10.500 per metrik ton. Namun, karena kinerja yang buruk di kuartal I 2019, Thomas jadi merevisi turun pendapatan operasi menjadi US$ 70 juta dan laba bersih menjadi US$ 47 juta.

Dia pun menurunkan target harga saham INCO dari Rp 3.600 per saham menjadi Rp 3.350 per saham. Meski begitu, Thomas tetap merekomendasikan buy karena optimistis pada prospek industri ini. Apalagi, katalis positif datang dari rencana divestasi saham sebesar 20% dengan PT Indonesia Asaham Aluminium.

Namun Sandro Sirait Analis Trimegah Sekuritas berpandangan lain. Meski harga nikel saat ini cenderung naik, ke depan tidak hanya INCO yang akan menggenjot produksi nikel melainkan perusahaan produksi nikel global lainnya.

"Kebanyakan produser nikel berencana meningkatkan produksi di semester II 2019," kata Sandro, dalam riset 14 Juni 2019. Dia mencatat, perusahaan tambang global, VALE mengklaim memiliki produksi nikel sebanyak 234.000 ton di tahun ini atau naik 10% dibanding semester pertama tahun ini.

Sementara, perusahaan lain seperti BHP Biliton dan Glencore juga merencanakan kenaikan produksi 20%-30% dibanding semester pertama. Naiknya jumlah pasokan nikel membuat harga nikel bisa menurun di semester II 2019. Apalagi permintaan global diperkirakan tak signifikan karena perekonomian global mulai menurun meski China merilis stimulus.

Sandro memproyeksikan harga nikel menurun ke US$ 10.000-US$ 11.000 per metrik ton di akhir tahun ini. Risiko penurunan harga nikel membuat Sandro merekomendasikan netral saham INCO dengan target harga Rp 2.900 per saham.

Andy Wibowo Gunawan, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia justru mengatakan INCO memiliki keunggulan tersendiri dibanding saingannya. INCO memiliki kadar bijih nikel tingkat pertama dengan rata-rata 1,79% atau lebih tinggi dari kompetitor yang berada di 1,58%. Selain itu, INCO juga menjadi satu-satunya produsen nikel matte atau nikel yang dimurnikan dengan kandungan nikel 78,0% dibandingkan dengan feronikel.

Andy optimistis kinerja INCO masih menjanjikan dan harga nikel global akan tetap solid karena permintaan yang lebih tinggi untuk kendaraan listrik. Proses INCO menambah kapasitas produksi dengan membangun smelter feronikel di Bahadopi Pomalaa di Pulai Sulawesi memberi prospek positif bagi INCO.

Dalam riset 27 Mei 2019, Andy merekomendasikan buy saham INCO dengan target harga Rp 3.050 per saham. Dia memproyeksikan pendapatan INCO tumbuh menjadi US$ 759 juta, tetapi laba bersih masih tercatat menurun ke US$ 48 juta.

Hari ini, harga saham INCO ditutup menguat 2% ke Rp 3.060 per saham.