Akselerasi Industri Antara untuk Serap Produk Smelter Urgen Dilakukan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dinilai perlu segera mendorong akselerasi industri antara untuk menyerap produk olahan smelter.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengungkapkan, masih banyak produk olahan smelter yang akhirnya diekspor karena industri antara di dalam negeri masih sedikit. "Industri antara dibangun dulu karena suplainya sebetulnya masih banyak hanya saja terserap keluar," kata Faisal kepada Kontan, Senin (20/12).
Faisal melanjutkan, maraknya investasi pada industri smelter pun awalnya dikarenakan ada kebutuhan bahan baku yang besar dari pasar luar negeri. Ia mencontohkan, banyak investor dari China yang membangun smelter di Indonesia untuk kemudian dikirimkan kembali ke China.
Padahal, ada lebih banyak nilai plus jika pemanfaatan diarahkan untuk dalam negeri. Untuk itu, menurutnya akselerasi industri antara cukup mendesak untuk dilakukan khususnya untuk komoditas nikel. "Sangat urgen karena nikel ini kan non renewable, jadi kalau makin lama keburu habis disedot untuk dimanfaatkan industri di luar negeri," ungkap Faisal.
Faisal melanjutkan, diperlukan insentif dan pengenaan disinsentif dari pemerintah demi memuluskan rencana ini. Insentif dan disinsentif ini diperlukan bagi industri smelter agar mau memasarkan produknya di Indonesia. Kemudian perlakuan serupa pun diperlukan untuk mendorong minat investor agar mau berinvestasi membangun industri antara.
Baca Juga: Ini emiten tambang yang bakal diuntungkan dari beleid energi terbarukan
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso mengungkapkan, saat ini serapan pasar domestik untuk produk yang dihasilkan smelter masih rendah. "Kondisi pasar domestik menyerap produk olahan mineral masih rendah karena saat ini industri antara yang ada sangat sedikit sekali," ungkap Prihadi kepada Kontan, Jumat (17/12).
Prihadi menjelaskan, sebagai contoh untuk produk olahan nikel memiliki potensi serapan yang tinggi jika pabrik baterai mulai terbangun. Kondisi saat ini sendiri serapannya masih tergolong sedikit yakni oleh pabrik stainless steel di Morowali.
Sementara itu, untuk produk olahan tembaga, serapannya hanya sekitar sepertiga dari total yang diproduksi. "Karena adanya perbedaan sistem pembayaran dan kurangnya pendanaan di industri dalam negeri," imbuh Prihadi. Prihadi melanjutkan, perlu ada kebijakan dari pemerintah yang bisa menarik investor-investor luar negeri agar tertarik mendirikan pabrik di Indonesia.
Dalam proses tersebut, Prihadi menyarankan agar dilakukan kajian yang baik sehingga tidak muncul kebijakan baru yang justru menghambat investasi hilir yang sedang berjalan. "(Juga) kemudahan berinvestasi di dalam negeri dan insentif dari pemerintah, (adanya) kemudahan dalam akses pendanaan, energi murah hingga teknologi yang tepat," jelas Prihadi.
Asal tahu saja, kendala pun sejatinya masih terjadi untuk pembangunan smelter. Sampai tahun 2024 nanti, pemerintah mencanangkan target realisasi fasilitas pemurnian mineral sebanyak 53 smelter. Adapun, untuk tahun ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan adanya tambahan 4 smelter yang beroperasi.
Dengan demikian, hingga akhir tahun ini setidaknya akan ada 23 smelter yang beroperasi. Hingga 2020 lalu tercatat sudah ada 19 smelter yang beroperasi antara lain 13 smelter nikel, 2 smelter bauksit, 1 smelter besi, 2 smelter tembaga, dan 1 smelter mangan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengungkapkan, masih ada sejumlah kendala yang dialami oleh perusahaan-perusahaan smelter seperti perizinan, lahan, kebutuhan pasokan energi hingga isu lain berkaitan dengan pengiriman alat, kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) hingga teknologi.
Persoalan lainnya yakni menyangkut pendanaan yang menghambat progres 12 smelter. "Adapun, dana pembangunan yang dibutuhkan berkisar US$ 4,5 miliar," ujar Ridwan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, 10 November lalu.
12 perusahaan tersebut yakni Gulf Mangan Grup (mangan), Bintang Smelter Indonesia (nikel) dengan kapasitas input 2,5 juta bijih ton, Macika Mineral Industri (nikel) dengan kapasitas 1,10 juta ton, Ang Fang Brothers (nikel) berkapasitas 1,86 juta ton, Teka Mining Resources (nikel) dengan kapasitas 3 juta ton, Mahkota Konaweeha (nikel) dengan kapasitas 1,34 juta ton.
Baca Juga: Rampung Tahun 2023, Ke Mana Ouput Smelter Anyar Freeport di Gresik Akan Dijual?
Kemudian, Arta Bumi Sentra Industri (nikel) berkapasitas 720 ribu ton, Sinar Deli Bantaeng (nikel) berkapasitas 2,4 juta ton, Dinamika Sejahtera Mandiri (bauksit) dengan kapasitas 6,3 juta ton, Laman Mining (bauksit) dengan kapasitas 2,8 juta ton, Kalbar Bumi Perkasa (bauksit) berkapasitas 3,6 juta ton serta Smelter Nikel Indonesia (nikel) dengan kapasitas 2,40 juta ton.
Ridwan mengungkapkan, sejumlah upaya pun dilakukan oleh Kementerian ESDM untuk mengatasi persoalan smelter. Sebagai contoh, Kementerian ESDM memfasilitasi one on one meeting antara perusahaan smelter dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) jika terjadi kendala pasokan energi.
"Kemudian kami juga membantu perusahaan-perusahaan menyusun info memo perusahaan smelter yang dapat ditawarkan kepada calon investor dan calon pendana," ungkap Ridwan.
Demi menjalankan strategi ini, pihaknya pun menggandeng sejumlah pihak hingga stakeholders lain yang terkait.