APNI dukung rencana pembatasan smelter FeNi dan NPI
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendukung rencana pemerintah membatasi pembangunan smelter nikel kelas 2 yakni Feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI) yang kini tengah disiapkan pemerintah.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, kebutuhan bahan baku bijih nikel mencapai 255 juta ton per tahun. Sementara cadangan terukur bijih nikel tercatat hanya sebesar 4,6 miliar ton.
Dengan kondisi tersebut maka industri hilir nikel pun diprediksi hanya akan bisa bertahan hingga 18 tahun mendatang. Kondisi ini bahkan bisa memburuk terlebih jika kondisi bijih nikel berkadar tinggi (diatas 1,6%) hanya sebesar 1,7 miliar ton.
Jika industri smelter pirometalurgy hanya mengkonsumsi bijih nikel kadar tinggi maka smelter jenis ini pun diprediksi hanya bakal bertahan paling lama 7 tahun.
"APNI mendukung pemerintah untuk melakukan pembatasan smelter kelas 2 (NPI/FeNi). Tetapi tetap mengundang investor untuk berinvestasi ke end product nikel seperti stainless steel, baterai dan electric vehicle," ujar Meidy dalam keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Senin (28/6).
Baca Juga: Ada wacana pembatasan smelter, ini dampaknya bagi emiten nikel
Dia menambahkan, selain mendukung rencana pembatasan smelter kelas 2, APNI turut merekomendasikan pembatasan ekspor produk FeNi dan NPI. APNI berharap pemerintah menentukan besaran 30% hingga 50% untuk dipasok bagi industri dalam negeri.
Meidy melanjutkan, saat ini masih banyak transaksi bijih nikel yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebagai contoh, per 13 Agustus 2020 telah diterbitkan Kepmenko 108/2020, Tentang Tim Satgas Harga Patokan Mineral (HPM). Dalam pantauan tim satgas tercatat saat ini baru sekitar 89% atau sebanyak 65 perusahaan yang telah mematuhi HPM.
Marujuk data APNI, industri hilir khusus nikel yang akan dibangun baik smelter pirometalurgy dan hydrometallurgy sebanyak 98 perusahaan, terdiri dari 25 pabrik yang sudah produksi, 41 perusahaan yang sedang melakukan konstruksi dan 32 perusahaan yang sedang berproses perizinan.
Meidy mengungkapkan, demi mendorong industri stainless steel dan baterai dalam negeri maka APNI mengusulkan sejumlah upaya perbaikan yang dinilai perlu dilakukan.
Pertama, dengan semakin bertambahnya perusahaan smelter & HPAL yang beroperasi, maka untuk menjaga ketersediaan cadangan dan optimalisasi bijih nikel kadar rendah diperlukan pembatasan kadar bijih nikel yang diizinkan untuk diperjualbelikan.
Kedua, dilakukan kegiatan eksplorasi detail untuk seluruh wilayah pertambangan, sehingga di dapatkan data sumber daya dan cadangan nikel dan mineral pendukung lainnya yang akurat untuk menunjang kebutuhan bahan baku smelter & HPAL yang semakin banyak berdiri di Indonesia.
Baca Juga: Soal wacana pembatasan smelter, ini kata Aneka Tambang (ANTM)
Ketiga, penerapan harga bijih nikel sesuai dengan HPM yang tertuang dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020. Serta pengoptimalan kinerja satgas dalam pengawasan transaksi bijih nikel di lapangan.
Keempat, untuk menghindari monopoli, disarankan kepada smelter untuk menggunakan surveyor independent terdaftar secara merata kepada seluruh surveyor terdaftar, agar hasil analisa lebih cepat dapat diperoleh.
Kelima, kebutuhan akan bijih nikel untuk HPAL dengan syarat spesifikasi yang ditentukan oleh pabrik, di khawatirkan tidak akan terakomodir maksimal oleh penambang, dikarenakan syarat (jenis) MgO. Kondisi yang sama saat ini untuk kebutuhan pirometalurgi dan kebutuhan akan saprolite bijih nikel kadar yang tinggi yaitu di atas 1.8% dengan syarat SiO/MgO maksimum 2,5.
Keenam, optimalisasi pabrik hilir nikel dengan pembatasan investasi baru, dan mendukung investasi yang sudah berjalan di Indonesia.
"Terakhir, mengangkat Indonesia dalam kancah industri logam dunia, dengan memacu pabrik dalam negeri untuk industri end produk," pungkas Meidy.