Bambang Brodjonegoro sebut perbaikan sektor manufaktur dorong perbaikan ekonomi RI
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mantan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan menuju perbaikan kelas perekonomian Indonesia sebelum 2045, perubahan paradigma sangat diperlukan, termasuk memperbaiki sektor manufaktur. Akan tetapi, perubahan paradigma tersebut harus tetap berada dengan transformasi ekonomi.
“Kuncinya memang transformasi ekonomi, tetapi kita harus coba mendefinisikan transformasi ekonomi itu harus menurut kebutuhan. Misalnya kita melihat tahun 80-an, ketika ekonomi kita mencoba bertransformasi dari sektor primer terutama tambang yaitu minyak, menjadi sektor sekunder yaitu manufaktur,” kata Bambang dalam diskusi virtual, Rabu (4/8).
Komisaris Utama Telkom ini melanjutkan, dengan bertransformasi ke sektor manufaktur, transformasi ekonomi berjalan sesuai yang diharapkan. Pada tahun 90-an, puncak pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode waktu yang cukup panjang. Dari tahun 1990 sampai 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi di kisaran 7%-8%.
Hal itu dikarenakan, Indonesia sudah mulai bertumpu pada sektor manufaktur yang kontribusinya hamier mencapai 30%. Akan tetapi, Bambang bilang, yang dilakukan pada tahun itu sifatnya adalah bagaimana agar ekonomi Indonesia mulai masuk ke manufaktur. Secara otomatis manufaktur yang menjadi andalan adalah yang padat karya.
Bambang melihat, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik seperti tahun 90-an, diperlukan adanya perubahan paradigma yang tegas yang perlu diangkat oleh pemerintahan saat ini dan tidak bisa menunggu pada pemerintahan berikutnya. Sebab, pemerintahan membutuhkan waktu yang tidak sedikit agar Indonesia bisa lolos dari negara middle income trap pada 2045.
Bambang mengusulkan perubahan paradigma yang harus dilakukan yaitu mengubah Indonesia dari natural resources base economy atau ekonomi berbasis kekayaan alam menjadi inovation base economy.
Bambang mengakui, kekayaan alam Indonesia memang begitu menggoda banyak pihak, baik investor dalam negeri maupun investor luar negeri, dan juga pemerintah untuk memanfaatkanya dalam jangka pendek. Sehingga membuat rasio pada manufaktur terus menurun dari 30% ke 19%.
Untuk itu, Bambang menilai Indonesia harus beralih menuju negara yang peralihannya maju dengan inovasi dan teknologi, dan tidak lagi selalu mengandalkan kekayaan alamnya.
“Saya amazed melihat daftar bahwa kita termasuk 5 atau 10 produsen terbesar di berbagai komoditas tambang maupun komoditas pertanian. Problemnya adalah kita terlalu terbuai dengan kekayaan alam yang kita miliki, namun lupa melakukan sesuatu yaitu inovasi,” jelas Bambang.
Menyoal inovasi yang dimaksud, Bambang menjelaskan Indonesia perlu memiliki nilai tambah yang berkelanjutan. Nilai tambah tersebut bisa didapatkan dari sumber daya alam yang ada. Namun dengan syarat, tidak dijual secara mentah dan rendah.
Harusnya setiap komoditas baik pertanian maupun pertambangan yang begitu kaya dapat diangkat nilai tambahnya dengan inovasi. Bambang mencontohkan, Indonesia sebagai negara eksportir nikel terbesar. Dengan adanya inovasi harusnya Indonesia bisa menjadi produsen baterai kendaraan listrik.
“Dari sana baru kita bisa bangga. Jangan sampai kita cukup puas hanya nikelnya saja kemudian di ekspor ke negara lain dan mereka yang jadi produsen olahan nikel ke dunia,” pungkasnya.