a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Begini Rencana Jokowi Garap Harta Karun Terbesar ke-6 Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia ternyata memiliki sumber "harta karun" tambang yang menduduki peringkat terbesar keenam di dunia. Sumber "harta karun" tambang ini yaitu bauksit.

Komoditas yang bisa diolah menjadi produk aluminium itu tentunya akan mendulang penerimaan negara jauh lebih besar lagi bila dibangun industri hilirnya.

Pasalnya, dari bauksit bisa diolah menjadi alumina, lalu aluminium, lalu produk-produk jadi lainnya sebagai komponen atau bahan baku bangunan dan konstruksi, peralatan mesin, transportasi, kelistrikan, kemasan, barang tahan lama, dan lainnya.

Dengan memiliki cadangan bauksit terbesar keenam di dunia, Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang ini seoptimal mungkin, tidak hanya menjual barang mentah, namun juga produk jadi bernilai tambah berkali-kali lipat.

Berdasarkan data Booklet Bauksit 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengolah data USGS Januari 2020, jumlah cadangan bauksit Indonesia mencapai 1,2 miliar ton atau 4% dari cadangan bijih bauksit dunia yang sebesar 30,39 miliar ton.

Adapun pemilik cadangan bijih bauksit terbesar di dunia yaitu Guinea mencapai 24%, lalu Australia menguasai 20%, Vietnam 12%, Brazil 9%, dan kemudian di peringkat kelima ada Jamaika 7%.

Berdasarkan data Kementerian ESDM ini, jumlah sumber daya bijih terukur bauksit Indonesia mencapai 1,7 miliar ton dan logam bauksit 640 juta ton, sementara cadangan terbukti untuk bijih bauksit 821 juta ton dan logam bauksit 299 juta ton.

"Indonesia memiliki cadangan bauksit nomor 6 terbesar di dunia, artinya Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku bauksit dunia," tulis Booklet Bauksit 2020 tersebut.

Direktur Pembinaan Program Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sunindyo Suryo mengatakan, saat ini baru ada dua pabrik pengolahan (smelter) bauksit menjadi alumina yang telah beroperasi. Adapun kapasitas input bijih bauksitnya sebesar 4.564.000 ton per tahun.

Lantas, bagaimana dengan ke depannya? Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah menginstruksikan jajaran kabinetnya untuk membangun industri hilir tambang, tidak hanya nikel, tapi juga bauksit.

Sunindyo mengatakan, kini tengah dilakukan pembangunan 12 pabrik pengolahan (smelter) bauksit menjadi alumina. Bila itu tuntas dibangun dan mulai beroperasi, maka kapasitas input bijih bisa melonjak menjadi 35 juta ton per tahun.

"Sedangkan, terdapat 12 pabrik pemurnian alumina yang masih dalam tahap konstruksi dengan kapasitas input bijih bauksit mencapai lebih dari 35 juta ton per tahun," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (01/10/2021).

Dia mengatakan, dengan dibangunnya 12 pabrik pemurnian alumina yang baru, maka diharapkan akan bisa menyerap seluruh bijih bauksit yang diproduksi. Dengan demikian, produksi alumina dalam negeri pun dapat ditingkatkan hingga keseluruhan mencapai 13,9 juta ton per tahun.

"Dengan rincian, 1,3 juta ton berupa produk Chemical Grade Alumina (CGA) dan 12,6 juta ton berupa Smelter Grade Alumina (SGA)," lanjutnya.

Bila itu terealisasi, maka menurutnya diperkirakan cadangan bijih bauksit Indonesia bisa cukup untuk 78 tahun. Namun ke depannya, pihaknya tetap terus mendorong eksplorasi, sehingga cadangan bauksit ini semakin meningkat dan semakin panjang umur cadangannya.

Peningkatan cadangan ini akan dilakukan melalui kegiatan eksplorasi dan verifikasi data dan sumber daya dan cadangan.

"Peningkatan kegiatan eksplorasi bijih bauksit diperlukan karena umur cadangannya berkisar 78 tahun pada laju konsumsi bijih kering sebesar 36,9 juta ton per tahun," lanjutnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan hilirisasi industri nikel ini dianggap berhasil, maka menurutnya ke depannya hilirisasi juga akan dilakukan pada komoditas lainnya, seperti bauksit, emas, tembaga, hingga minyak sawit.

"Oleh sebab itu, tak hanya nikel saja, ke depan kita juga akan mulai untuk bauksitnya, mulai emasnya, tembaganya, hilirisasi sawitnya, sebanyak mungkin turunan-turunan dari bahan mentah itu bisa jadi minimal barang setengah jadi, syukur-syukur bisa jadi barang jadi," paparnya, Kamis (26/8/2021).

Dia mengatakan, hilirisasi industri ini merupakan salah satu dari tiga strategi besar ekonomi negara di masa depan. Dua strategi besar lainnya yaitu digitalisasi UMKM dan ekonomi hijau.

"Ke depan strategi besar ekonomi kita, strategi besar ekonomi negara, ada tiga hal yang ingin saya sampaikan, pertama hilirisasi industri, kedua digitalisasi UMKM, dan ketiga kita harus mulai masuk ke ekonomi hijau," pungkasnya.

Selain menambah smelter alumina, pemerintah juga menargetkan setidaknya ada tambahan kapasitas pabrik aluminium di Tanah Air. Pasalnya, kini baru PT Inalum (Persero) yang memproduksi aluminium sekitar 250 ribu ton per tahun. Sementara kebutuhan logam aluminium di dalam negeri mencapai sekitar 1 juta ton per tahun.

Karena masih minimnya pasokan dalam negeri, maka selama ini RI masih mengimpor sekitar 748 ribu ton logam aluminium per tahun.

Guna menekan impor logam aluminium tersebut, maka Sunindyo mengatakan RI perlu menambah pembangunan pabrik aluminium di dalam negeri.

"Pengembangan industri fabrikasi aluminium diperlukan untuk mengurangi nilai impor yang mencapai US$ 890 juta atau sekitar Rp 12,7 triliun pada tahun 2020," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (01/10/2021).

Menurutnya, nilai impor komoditas aluminium didominasi oleh produk dari industri fabrikasi dan manufaktur, khususnya aluminium plat/lembaran.

"Oleh karena itu, diperlukan pembangunan pabrik plat/lembaran aluminium sebagai langkah substitusi impor," lanjutnya.

Dia mengatakan, setidaknya diperlukan tambahan pabrik logam aluminium baru berkapasitas 3 x 250 ribu ton aluminium per tahun. Adapun nilai investasi untuk menambah smelter baru ini menurutnya mencapai US$ 1-2 miliar atau sekitar Rp 28,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$).

Menurutnya, optimalisasi penggunaan produk dalam negeri harus ditingkatkan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dan untuk meningkatkan pengembangan industri hilir dalam negeri.

Selain membangun smelter baru, dia juga mendorong dibangunnya sistem fabrikasi daur ulang aluminium.

"Sistem daur ulang juga harus mulai dibangun sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan," jelasnya.