Biayai eksplorasi, Vale Indonesia (INCO) siap investasi hingga US$ 7 juta per tahun
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Vale Indonesia Tbk (INCO) telah menyiapkan rencana jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan nikel di masa yang akan datang. Untuk menunjang rencana tersebut, Vale Indonesia menyiapkan investasi kurang lebih US$ 6 juta sampai US$ 7 juta per tahun untuk aktivitas eksplorasi.
Direktur Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan Vale Indonesia melakukan penambangan sendiri dan langsung diolah di pabrik pengolahan di Sorowako sehingga tidak melakukan transaksi jual beli nikel ore dengan penambang lain.
Adapun, dalam beberapa tahun mendatang, INCO berencana untuk membangun sejumlah smelter seperti Smelter Pomalaa dan Smelter Bahodopi. Tentu INCO membutuhkan pasokan nikel lebih banyak.
Maka dari itu, Bernardus menegaskan, Vale Indonesia telah meramu rencana jangka panjang penambangan untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengolahan yang ada saat ini dan yang akan dibangun dalam waktu 5 tahun yang akan datang.
Nantinya, lanjut Bernardus, Smelter di Pomalaa akan dipasok 100% dari penambangan di konsesi Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Demikian juga untuk Smelter Bahodopi, kebutuhan nikelnya akan dipasok dari Tambang Bahodopi, Sulawesi Tengah.
Baca Juga: Begini jurus Vale Indonesia (INCO) untuk jaga pasokan nikel
Secara keseluruhan, saat ini rata-rata volume produksi nikel mencapai 75.000 metrik ton per tahun.
Bernardus bilang, jumlah cadangan sangat tergantung dari kapasitas feed fasilitas pemrosesan dalam rencana jangka panjang. Dengan rencana jangka panjang yang dimiliki perusahaan saat ini, cadangan yang diketahui sekarang bisa cukup untuk 30 tahun.
INCO Chart by TradingView
"Tetapi kami juga terus melakukan kegiatan eksplorasi untuk meningkatkan jumlah dan kualitas data cadangan yang dimiliki diseluruh wilayah kontrak karya. Kami mengalokasikan kurang lebih US$ 6 juta - US$7 juta pertahun untuk eksplorasi," jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (6/10).
Di sepanjang tahun ini, target produksi nikel INCO sebesar 64.000 MT. Jika dibandingkan dengan realisasi produksi di 2020 yang sebesar 72.237 metrik ton, maka target tahun ini mengalami penurunan kurang lebih 11,4% yoy.
"Produksi 2021 lebih rendah karena akan ada proyek F4 rebuild yang akan dimulai bulan November 2021," jelasnya.
Sampai dengan semester I 2021, INCO telah merealisasikan produksi nikel dalam matte sebesar 30.246 MT atau lebih rendah 17% dibandingkan produksi pada periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 36.315 MT nikel matte. Alhasil, realisasi produksi INCO sepanjang enam bulan pertama 2021 hanya mencerminkan 47,3% dari target produksi nikel INCO tahun ini.
Namun, melansir laporan Kontan.co.id sebelumnya, Bernardus mengatakan pihaknya tetap optimistis mencapai target produksi di tahun ini yang sebesar 64.000 MT.
Kendati volume produksi nikel INCO menurun, pendapatan produsen nikel ini justru tumbuh karena ditopang oleh naiknya harga komoditas. Bernardus menilai, kenaikan harga nickel LME tentu saja sangat positif untuk kinerja keuangan perusahaan, walaupun di saat yang sama harga minyak dan batubara juga naik dan memberikan tekanan pada biaya produksi.
"Tetapi secara keseluruhan dampaknya masih positif. Diharapkan harga Nickel masih berada dalam level saat ini sehingga kinerja keuangan perusahaan untuk tahun 2021 juga bisa baik," ujar Bernardus.
Pada akhir semester I-2021, INCO membukukan pendapatan bersih senilai US$ 414,94 juta, naik 15,14% dari torehan pendapatan di semester pertama 2020. Perinciannya, penjualan ke VCL sebesar US$ 331,47 juta dan sisanya ke Sumimoto Metal Mining Co., Ltd (SMM) senilai US$ 83,47 juta.
Seiring naiknya pendapatan, produsen nikel ini membukukan laba bersih senilai US$ 58,78 juta di akhir Juni lalu, naik 10,65%.