Faisal Basri: Nikel Indonesia 90 Persen Dinikmati China
Elangnews.com, Jakarta – Ekonom Faisal Basri menyatakan Indonesia hanya menikmati 10 persen keuntungan dari nikel sementara 90 persen diangkut ke China.
“Dari proses pengolahan dari biji nikel hingga produk smelter, maksimum yang tinggal di wilayah Republik Indonesia ini hanya 10 persen. Sementara 90 persen dinikmati China,” kata Faisal Basri dalam perbincangan di Channel Refly Harun, Selasa (27/7/2021).
Menurut pengajar Universitas Indonesia ini, Indonesia menjadi ektensi Pemerintah China untuk mendukung industrialisasi di Tiongkok.
“Harusnya sebagian besar (keuntungan) ke kita. Kalau hitungan korporasi hitungannya berapa modal yang disetor. Kita punya biji timah, kita punya tanah, kita punya tenaga kerja,” ujarnya.
“Kalau misalnya di kasus minyak di masa lalu, itu bagi hasilnya 85 persen untuk Pemerintah dan 15 persen untuk kontraktor setelah segala biaya ditanggung oleh Pemerintah. Namanya cost recovery,” kata Faisal Basri.
“Seluruh ongkos dihitung dulu dan ditangung Pemerintah kemudian 85 persen masuk ke Pemerintah,” jelasnya. “Memang cost revovery-nya naik terus karena semakin lama minyaknya semakin dalam dan makin sulit didapat. Yang penting tambahan pendapatn kita lebih besar dari ongkos,” tambahnya. Baca Juga: Pengamat: Pecat Kader Gerindra yang Bermasalah dengan Hukum
Baterei Mobil Listrik
Sejumlah pembangunan smelter di Morowali atau Konawe, kata Faisal Basri mengusung tema sama sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) atasnama membangun baterei untuk mobil listrik. Padahal, sambung Faisal Basri, sampai saat ini belum ada perusahaan yang membangun baterei mbil listrik di Indonesia.
“Yang mereka lakukan adalah mengolah biji timah menjadi sebagian besar NPI (Nickel Pig Iron),” ujarnya. “Kira-kira sudah diolah 20-25 persen,” sambungnya.
“Jadi ini masih di hulu nih belum di hilir. Katanya hilirisasai,” ujar Faisal Basri. Sebagian besar Pig Iron diekspor ke China untuk diolah lebih lanjut di China.
“Mereka bisa membeli biji nikel dengan harga sepertiga atau seperempat harga internasional. Makanya mereka berbondong-bondong datang ke sini. Karena kalau pabriknya tetap di China mereka membeli dengan harga 100 misalnya per ton atau per kilogram kalau mereka pindahkan pabriknya ke Indonesia mereka bisa dapatkan harga 25-35 saja,” papar Faisal Basri.
Kenapa bisa begitu? Menurut Faisal Basri karena ekspor biji nikel dilarang. Akibatnya harga turun. Ditambah lagi kadar nikel juga dicek. Dan surveyornya bukan dari Indonesia atau Sucofindo melainkan mereka ditunjuk oleh pembeli atau trader yang menjadi kaki tangan China di Indonesia. Baca Juga: Percepat Vaksinasi Covid-19, Pemprov Sultra Gandeng Perusahaan Tambang
“Petambang biji nikel tidak boleh jual langsung melainkan harus lewat trader. Intinya kenapa harus pakai calo. Mereka ini kaki tangan (China) di dalam negeri,” ujarnya.
“Kalau surveyor menyebutkan kadar nikel itu di bawah ketentuan, mereka kasih penalti. Turunkan lagi harganya. Mereka tidak mengikuti harga pokok yang ditentukan pemerintah. Mereka ngancam-ngancam, mereka akan pindah ke Filipina. Karena di Filipina juga banyak nikel,” ujarnya.
Nikel yang diekspor ke China, kata Faisal Basri diolah menjadi sendok, garpu, pisau, jadi lembaran baja tahan karat high quality dan kemudian kita impor lagi,” jelas ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini.
Faisal Basri menyatakan telah memberikan data yang ditemukannya itu ke Menteri Koordinator Investasi dan Maritim Luhut Binsar Pandjaitan dan juga kepada Menteri BKPM Bahlil Lahadalia. Faisal Basri mengaku mendapat data tersebut secara pribadi dari China dan juga di dalam negeri.
“Saya dapatkan sendiri data dari China dan dalam negeri. Saya dapatkan sendiri, sekretaris pun tidak tahu,” ujarnya. (Yat/Red)