Fantastis! Permintaan Bijih Nikel Bakal Tembus 250 Juta Ton
Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan, kebutuhan permintaan bijih nikel akan tembus 250 juta ton pada 2025.
Sekretaris APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan berdasarkan data yang dimilikinya, sampai saat ini ada 27 badan usaha untuk proses pengolahan bijih nikel.
Sedangkan realisasi permintaan atau demand pada 2021 baru mencapai 57 juta ton, atau setara dengan 47,5% dari target Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Tahun 2021 yang sebesar 120 juta ton.
Nah, masalahnya pada 2025 kemungkinan terdapat 81 badan usaha pengolahan bijih nikel, baik dari priometalurgi dan hidrometalurgi.
Kendati demikian, pembangunan pabrik tersebut akan dilakukan bertahap. Meidy merinci, ada 27 perusahaan pirometalurgi, kemudian hidrometalurgi ada 5 yang sedang konstruksi, dan 17 badan usaha masih dalam tahap perencanaan untuk pirometalurgi dan 3 untuk perencanaan pirometalurgi.
"Pada 2025 ada 71 pabrik pirometalurgi dan 10 pabrik hidrometalurgi. Dari total kebutuhan itu akan memakan sekitar 250 juta ton bijih nikel di 2025 ke atas," jelas Meidy kepada CNBC Indonesia, Selasa (4/1/2021).
"Nanti di 2025, jika keseluruhan pabrik ini benar-benar terealisasi, kebutuhan 250 juta ton ini bukan angka yang kecil. Kita mempertanyakan gimana kesiapan cadangan kita, gimana industri hulu," ujarnya lagi.
Padahal, pemerintah berencana untuk membatasi pembangunan smelter nikel baru. Kementerian ESDM tengah mewacanakan pembatasan pembangunan smelter nikel kelas dua yakni untuk feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).
Sampai dengan 2024 mendatang, pemerintah menargetkan sebanyak 53 smelter beroperasi. Secara rinci smelter yang akan operasi pada 2024 yakni empat smelter tembaga, 30 smelter nikel, 11 smelter bauksit, empat smelter besi, dua smelter mangan, serta dua smelter lagi adalah timbal dan seng.
Sementara kebutuhan investasi untuk membangun 53 smelter sampai dengan 2024 tersebut yakni mencapai US$ 21,59 miliar. Dengan rincian investasi untuk smelter nikel sebesar US$ 8 miliar, bauksit sebesar US$ 8,64 miliar, besi sebesar US$ 193,9 juta, tembaga US$ 4,69 miliar, mangan sebesar US$ 23,9 juta, serta timbal dan seng sebesar US$ 28,8 juta.
Adapun rencana pembatasan smelter nikel baru ini disebutkan karena beberapa faktor, antara lain peningkatan nilai tambah, amankan bahan baku untuk pabrik katoda sel baterai, serta menjaga ketahanan cadangan bijih nikel.