Hilirisasi Mineral Ditargetkan Gaet Investasi US$21,28 Miliar
JAKARTA – Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan, Indonesia akan menjadi daya tarik investasi pertambangan mengingat jumlah cadangan dan produksi beberapa komoditas mineral Tanah Air masuk urutan 10 besar dunia. Salah satunya nikel, yang jumlah cadangan dan produksinya menempati posisi satu dunia.
“Demikian juga dengan komoditas lainnya, antara lain bauksit, besi, tembaga, mangan, timbal, dan seng. Nanti diperkirakan akan menarik investasi sebesar US$21.28 miliar,” terang Arifin, Kamis (25/11).
Disebutkan menurut United States Geological Survey (USGS), 23% cadangan nikel dunia ada di perut bumi Indonesia. Tidak hanya cadangan, Indonesia juga Arifin sebut masih menjadi produsen nikel nomor satu di dunia
“Kemudian ada bauksit yang menempati nomor 6 pada jumlah cadangan dan produksi dunia,” sambungnya.
Selain itu, cadangan tembaga Indonesia menempati posisi 7 dan produksinya ada di posisi 12 dunia. Komoditas emas berada di posisi 5 pada potensi dan 6 pada produksi. Sementara, produksi timah Indonesia mencapai 17% dari cadangan dunia atau berada pada posisi kedua, begitu pula dengan produksinya.
Di samping komoditas-komoditas tersebut, Arifin juga mengungkapkan masih ada Logam Tanah Jarang dan Lithium yang potensinya juga besar di Indonesia, namun belum dapat diproduksi karena Indonesia belum memiliki teknologi untuk memisahkan dan memurnikannya.
Arifin melanjutkan, pemerintah memperkirakan perkembangan investasi itu akan diakselerasi pada 2022, karena 2023 adalah batas waktu untuk izin ekspor konsentrat.
Aturan ini ditujukan agar program hilirisasi terealisasi. “Smelter ini harus jadi,” tandasnya.
Saat ini sudah ada 19 unit smelter eksisting, 13 di antaranya adalah smelter nikel. Adapun telah direncanakan pembangunan 17 smelter lainnya, sehingga total smelter nikel nantinya menjadi 30 unit, dengan nilai investasi US$8 miliar. Direncanakan pada tahun 2023 ada 53 smelter yang beroperasi.
Arifin menambahkan, untuk 53 smelter tersebut, dibutuhkan listrik mencapai 5,6 GW di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini diakui sebagai tantangan pemerintah membangun infrastruktur yang baik untuk mendukung kebutuhan listrik tersebut.
“Ini tentu saja menjadi terutama tantangan ke depan, bagaimana kita bisa mendukung industri-industri ini dengan energi hijau. Kebetulan juga, sumber-sumber energi bersih ini letaknya di wilayah timur. Tuhan maha adil, wilayah barat Indonesia sudah tumbuh, kemudian sekarang giliran wilayah timur, dan suatu saat kita akan mencapai keseimbangan, dan di sinilah kita bisa harapkan Indonesia bisa menjadi salah satu negara besar,” tuturnya.
Program peningkatan nilai tambah mineral juga diyakini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, serta berkontribusi terhadap melonjaknya Penerimaan Domestik Bruto (PDB). Arifin menggarisbawahi, kontribusi sektor pertambangan minerba yang besar terjadi pada 2018, melebihi tahun 2013 saat ekspor bijih nikel terbesar dilakukan. Sumbangan sektor pertambangan minerba diklaim terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah smelter yang beroperasi.
Kontribusi industri logam dasar hasil transformasi pertambangan diklaim meningkat sejak implementasi program peningkatan nilai tambah mineral pada tahun 2014.
“Ini terus meningkat hampir dua kali lipat selama satu dekade sejak 2010. Kebijakan peningkatan nilai tambah mineral berhasil melakukan transformasi ekonomi dan meningkatkan kontribusi terhadap PDB dari setiap mineral yang digali,” pungkasnya.