Ifishdeco (IFSH) terus kawal kelangsungan proyek smelter di tahun ini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan nikel PT Ifishdeco Tbk (IFSH) masih terus mengerjakan proyek smelter melalui anak usahanya, PT Bintang Smelter Indonesia (BSI) di kawasan Sulawesi.
Manajemen IFSH sendiri membutuhkan biaya investasi sekitar US$ 110 juta untuk pembangunan smelter tersebut ke depan. Nilai investasi tersebut diperoleh dari kas internal perusahaan dan pendanaan dari mitra strategis.
Direktur Ifishdeco Muhammad Ishaq mengatakan, pihaknya menggarap dua proyek, yaitu smelter Blast Furnace dan smelter dengan teknologi Rotary Kin Electric Furnace (RKEF).
Pandemi Covid-19 diakui cukup mempengaruhi kelangsungan pembangunan smelter IFSH. Tak hanya terkendala dari terhambat-nya tenaga ahli dari luar negeri, perusahaan ini juga mengalami hambatan dari sisi pendanaan.
Sebenarnya, smelter Blast Furnace sudah lebih dulu didirikan oleh PT BSI. Namun, teknologi Blast Furnace yang digunakan smelter tersebut belum begitu efisien, karena 60% bahan baku produksi berasal dari batubara kokas yang mesti diimpor dari luar negeri.
Alhasil, perusahaan ini perlu melakukan upgrade terhadap infrastruktur dan teknologi smelter tersebut supaya lebih efisien.
“Sampai sekarang, sudah kami lakukan beberapa penjajakan untuk modifikasi teknologi tersebut sehingga smelter ini beroperasi kembali,” ungkap dia saat paparan publik virtual, Kamis (25/2).
Mengutip berita sebelumnya, smelter Blast Furnace IFSH diharapkan dapat mulai berproduksi secara komersial pada akhir 2021 atau awal 2022 mendatang.
Baca Juga: Gandakan volume penjualan jadi 2 juta ton nikel, ini rencana Ifishdeco di tahun 2021
Setali tiga uang, IFSH juga masih terus melakukan pembicaraan dengan berbagai calon investor untuk mengembangkan sekaligus mengoperasikan smelter RKEF. Dalam catatan Kontan.co.id, smelter RKEF ini ditargetkan dapat mencapai tahap financial close di akhir 2021 dan berpotensi produksi di akhir 2023 atau awal 2024 mendatang.
Terkait kinerja operasional, IFSH berencana menjual 2 juta metrik ton bijih nikel pada tahun ini. Target ini berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahunan (RKAB) IFSH yang telah disetujui oleh pemerintah.
Perusahaan ini dipastikan menjual seluruh bijih nikelnya ke pasar domestik seiring adanya larangan ekspor komoditas tersebut yang diberlakukan pemerintah.
“Menurut kami, sejauh ini kondisi bisnis nikel sudah lebih kondusif dengan adanya kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM) yang memberikan rasa keadilan antara penambang dan pemilik smelter,” terang Ishaq.
Beberapa strategi coba diterapkan oleh IFSH untuk mendongkrak penjualan bijih nikelnya di tahun ini. Salah satunya dengan merevitalisasi infrastruktur, khususnya jetty.
Revitalisasi tersebut diperlukan supaya jetty yang dikelola IFSH dapat memuat kapal tongkang pengangkut bijih nikel dengan ukuran yang lebih besar.
Diharapkan pula ketika revitalisasi infrastruktur ini dapat dituntaskan oleh IFSH, maka ada peluang bagi perusahaan untuk meningkatkan penjualan bijih nikelnya di tahun 2022 mendatang hingga di kisaran 2,5 juta metrik ton—3 juta metrik ton. Hal ini tentu bergantung pada pergerakan harga nikel di pasar.
“Proyek smelter yang dibangun atau di ekspansi di Indonesia diharapkan dapat segera beroperasi, karena itu target market kami,” tandas dia.
Sebagai informasi, per akhir tahun 2020, penjualan bijih nikel IFSH tercatat sebesar 781.767 metrik ton atau setara 98% dari target di tahun tersebut sebesar 800.000 metrik ton. Realisasi penjualan bijih nikel IFSH di tahun 2020 tampak lebih rendah dibandingkan penjualan di tahun sebelumnya yang mencapai 2.264.400 metrik ton.