Ini Tujuan Pemerintah Kenakan Pajak Progresif Ekspor NPI dan Feronikel
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan mengenakan pajak progresif ekspor untuk dua jenis komoditas nikel yakni nickel pig iron (NPI) dan feronikel di tahun ini. Ketentuan pajak progresif ini bertujuan untuk memacu hilirisasi nikel dan menjaga cadangan biji nikel Tanah Air.
Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto menjelaskan, ada dua tujuan utama pemerintah mengenakan pajak progresif untuk nikel pig iron dan feronikel.
"Pertama, kami ingin mendorong hilirisasi nikel lebih jauh lagi. Kami ingin memberikan dorongan supaya investasi jangan hanya berhenti di nikel pig iron dan feronikel saja, tetapi juga investasi ke produk nikel yang memiliki nilai tambah lebih tinggi," jelasnya saat ditemui Kontan.co.id di kantor Kemenkomarves, Kamis (20/1).
Menurut Seto, nikel merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga ketika nikel digali dan kemudian diekspor keluar negeri, wajar bila pemerintah memacu industri untuk menghasilkan nikel dengan value added yang lebih tinggi.
Tujuan kedua adalah untuk menjaga ketahanan cadangan biji nikel. Asal tahu saja, jumlah pabrik pengolahan nikel penghasil pig iron dan feronikel yang menggunakan bahan baku biji nikel tipe saprolite terus bertambah, namun jumlah cadangan bijih nikel tipe saprolite tidak mengalami peningkatan signifikan.
Seto mengungkapkan, saat ini kapasitas smelter nikel pig iron dan feronikel sudah sangat besar. Jika semua perusahaan membangun smelter (pig iron dan feronikel), kapasitas pabrik pengolahan dan pemurnian akan semakin besar dan tentu saja akan menyedot semakin banyak biji nikel.
"Dampaknya, cadangan biji nikel akan cepat habis. Jika trennya terus seperti ini diproyeksikan cadangan akan habis pada 2040-an," ungkapnya.
Seto menegaskan, instrumen pajak progresif ini juga digunakan untuk mengontrol jangan sampai Indonesia membangun smelter besar-besaran lalu oversupply dan harga komoditasnya akan turun.
Sebagai gambaran, nantinya pajak progresif ini akan berlaku di saat nikel mencapai harga tertentu. Saat ini pihaknya sedang mencoba melakukan exercise di harga US$ 15.000 per-ton sampai US$ 16.000 per ton akan dikenakan pajak 2% yang kemudian tarif pungutan pajak akan terus naik seiring dengan menanjaknya harga nikel.
Sejauh ini Seto mengatakan, pengenaan pajak progresif ini hanya untuk nikel pig iron dan feronikel. Namun, pihaknya tidak menutup kemungkinan juga akan mengenakan pajak progresif untuk nikel matte sehingga saat ini masih dalam tahap evaluasi. "Namun kami sedang mempelajari terlebih dahulu nikel yang kami usulkan, pig iron dan feronikel," ujarnya.
Seto memastikan bahwa pengenaan pajak progresif ini akan diterapkan di 2022. Namun sayang, dia belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut kapan tepatnya kebijakan ini dilaksanakan. Diharapkan dengan kebijakan ini, hasil pajak yang masuk ke APBN akan dialokasikan ke Kementerian ESDM untuk pembangunan serta mendorong eksplorasi cadangan mineral.
Seiring pengenaan pajak progresif, Seto mengungkapkan, kebijakan lain yang akan diterapkan adalah meniadakan pemberian tax holiday bagi perusahaan yang mengajukan izin baru untuk membangun smelter pig iron dan feronikel.
Sejatinya, tujuan insentif tax holiday adalah untuk industri pionir dan mendorong masuknya investasi sebanyak mungkin di Indonesia.
Namun, dengan kondisi kapasitas smelter pig iron dan feronikel sudah sangat besar dan investasi yang masuk juga sangat banyak maka kedua jenis nikel tersebut sudah tidak bisa dikategorikan lagi sebagai industri pelopor.
Seto tidak menampik, kedua kebijakan ini akan menahan investasi smelter pig iron dan feronikel yang baru ke depannya.
"Kami sudah hitung keekonomiannya, kami kira nilai keekonomiannya masih masuk hanya saja (investor) akan lebih hati-hati saja karena berpikir tidak dapat tax holiday dan akan bayar pajak ekspor juga. Namun, investasi secara keseluruhan belum tentu berkurang," tegasnya.
Kendati demikian, Seto mengungkapkan, saat ini sudah ada 18 smelter yang beroperasi yang tidak menikmati tax holiday dan masih bisa untung. Adapun bagi keekonomian eksisting, pengenaan pajak progresif diproyeksikan tidak akan berdampak signifikan.
Seto berharap dengan kebijakan ini, pelaku usaha akan memilih mengolah nikel di dalam negeri menjadi produk yang bernilai tambah lebih tinggi dibanding langsung mengekspornya. Pemerintah optimistis karena roadmap hilirisasi nikel sudah terlihat jelas mulai dari investasi yang akan masuk hingga hasil produknya.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengusulkan, pengenaan pajak ekspor progresif tidak dikenakan berdasarkan jenis produk yang dihasilkan, misalnya nikel pig iron atau feronikel. Namun, pajak ekspor tersebut dikenakan bagi pabrik pengolahan yang bahan bakunya adalah nikel tipe saprolite, yakni pabrik berteknologi pryrometalurgy.
Baca Juga: Belum Usai, Aliran Investasi untuk Industri Nikel Masih Mengalir
"Artinya, produk nikel dalam bentuk nikel matte misalnya, yang juga menggunakan bahan baku nikel saprolite, semestinya juga dikenakan pajak ekspor tersebut, seperti halnya NPI dan Ferronickel," jelasnya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (23/1).
Rizal menjelaskan, pabrik pengolahan nikel termasuk yang berteknologi pryrometalurgy mempunyai nilai investasi yang cukup mahal, dengan resiko investasi yang cukup besar. Sementara di satu sisi, harga nikel di pasar global, memiliki tingkat volatilitas yang cukup tinggi.
Mengacu pada harga nikel dalam 5 tahun terakhir yang berlaku di London Metal Exchange, harga nikel berkisar dari US$ 10.000 hingga US$ 20.000 per ton.
Secara keekonomian, pabrik pengolahan nikel dengan sistem peleburan, umumnya dinyatakan menguntungkan serta investasi terjamin, jika harga nikel berkisar di angka US$ 15.000 per ton.
Artinya, jika harga nikel jatuh di bawah angka US$ 15.000/ton, maka risiko investasinya cukup tinggi. Dalam kondisi tersebut, lanjut Rizal, perusahaan terpaksa menanggung risikonya, tanpa adanya "intervensi" atau "bantuan" dari Pemerintah.
"Nah, karena itu, pemerintah tidak dapat serta merta mengenakan pajak ekspor terhadap produk nikel yang bahannya berasal dari nikel tipe saprolite, jika harga nikel di pasar dunia tidak mencapai level harga yang ekonomis," kata Rizal.
Menurutnya, pemerintah harus adil dan berimbang dalam hal ini. Jangan sampai ketika harga nikel jatuh di nilai yang tidak ekonomis, pemerintah diam-diam saja dan tidak memberikan bantuan apapun, namun pada saat harga tinggi pemerintah hadir untuk mengenakan pajak ekspor.
Maka dari itu, Rizal mengusulkan, perlu dibuat persyaratan-persyaratan atas pengenaan pajak itu. Misalnya, pajak ekspor dikenakan jika harga nikel selama 3 bulan berturut-turut, mencapai harga US$ 20.000/ton. Selain itu, pajak ekspor tersebut dikenakan bagi perusahaan yang telah beroperasi selama 3 tahun.
Sebelumnya, Djoko Widajatno, Executive Director Indonesian Mining Association (IMA) menilai pungutan pajak ekspor ini adil karena smelter tidak membayar royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lainnya.
Sedangkan penambangnya wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), royalti, jaminan reklamasi, serta jaminan pasca-tambang. "Tujuannya adalah menegakkan keadilan dalam kebijakan fiskal," jelasnya.
Menurutnya, setelah diatur kewajiban untuk memenuhi smelter dan ekspor bijih nikel dilarang, maka kebijakan pungutan ekspor progresif ini tidak akan berdampak pada pasokan nikel ke dalam negeri.
Namun, Djoko menilai bahwa pengenaan pajak ini berpotensi membuat pengusaha menjadi enggan membangun smelter.
Di lain pihak, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Prihadi Santoso mengatakan bahwa dalam jangka pendek akan mengurangi minat pembangunan smelter di Tanah Air.
"Namun, dalam jangka menengah dan panjang bila pemerintah konsisten akan memicu gairah pembangunan smelter," kata Prihadi.
Baca Juga: Kementerian ESDM Rancang Omnibuslaw Minerba untuk Memacu investasi Sektor Minerba
Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mendukung, pungutan pajak ekspor untuk kedua komoditas nikel ini supaya negara bisa mendapatkan value added dari industri pengolahan mineral.
Meidy menerangkan, jika ditarik ke belakang pada saat dahulu Kementerian ESDM mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian (IUP OPK Olah Murni) untuk pabrik atau smelter, output nikel dibebankan bea keluar.
Namun, pada saat ditarik ke produk perindustrian dengan Izin Usaha Industri (IUI) bea keluarnya dibebaskan.
"Dalam hal ini apa yang didapatkan negara? Tidak ada. Kami miris di mana produk nikel misalnya saja nikel pig iron atau feronikel yang diekspor ke China itu dibebankan bea masuk sekitar 15%. Masa di kita gratis tetapi di sana terima 15% padahal mereka tidak produksi, tentu tidak fair," ujarnya.
Meidy berpesan semua produk terutama olahan mineral nikel harus memberikan kontribusi pada penerimaan negara. "Supaya negara mendapatkan value aded dari industri pengolahan mineral," kata Meidy.
Menurut Meidy, meskipun smelter membutuhkan investasi yang besar, di saat tren harga nikel yang sangat tinggi, produsen nikel mendapatkan untung yang besar. "Tentu nanti hasil pungutan tersebut untuk negara dan membangun daerah sehingga dari APNI sangat mendukung," tegasnya.