Investasi Tambang RI Melesu Saat Commodities Boom, Kok Bisa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Investasi di sektor tambang mineral dan batu bara (minerba) Indonesia malah melesu di tengah adanya momen commodities boom atau lonjakan harga sejumlah komoditas tambang saat ini.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per Mei 2021 investasi di sektor minerba baru mencapai US$ 1,39 miliar atau sekitar Rp 20 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$). Angka realisasi ini baru mencapai 23,24% dari target tahun ini yang ditetapkan sebesar US$ 5,98 miliar atau sekitar Rp 86 triliun.
Lantas, apa yang menjadi penyebab lesunya investasi di sektor tambang ini? Mengapa kenaikan harga komoditas seperti batu bara, emas, nikel, hingga tembaga tidak menggairahkan penambang untuk berinvestasi?
Direktorat Jenderal Minerba dalam sebuah pernyataan kepada CNBC Indonesia mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya realisasi investasi tambang ini, salah satunya yaitu karena perusahaan tambang menunda belanja modal di awal tahun dan akan bergeser ke pertengahan tahun ini.
Pemerintah pun mengakui seharusnya dalam empat bulan pertama ini, Januari-April 2021 investasi tambang RI bisa mencapai 25% dari target investasi penuh tahun ini. Namun nyatanya, realisasi investasi masih lebih rendah dari target awal.
"Hal tersebut dikarenakan rencana perusahaan yang menunda belanja modalnya di awal tahun dan akan dimulai pada pertengahan tahun, dan bahkan ada yang baru membelanjakannya di triwulan ke-4," ungkap Ditjen Minerba dalam sebuah pernyataan kepada CNBC Indonesia, Kamis (10/06/2021).
Adapun kendala yang dihadapi perusahaan untuk berinvestasi di awal tahun disebutkan karena belum tuntasnya perizinan yang berkaitan dengan kementerian/ lembaga lain.
"Kendala yang dilaporkan beberapa perusahaan yaitu menunggu selesainya perizinan pendukung, khususnya terkait dengan sektor lain," ungkap pernyataan Ditjen Minerba.
Namun demikian, pihaknya akan terus memfasilitasi penyelesaian kendala yang dihadapi perusahaan dan tetap mengawasi kinerja ke depannya.
"Strategi Ditjen Minerba ke depan akan terus memfasilitasi kinerja investasi perusahaan tersebut sampai dengan akhir tahun dengan melakukan monitoring dan fasilitasi penyelesaian kendala."
Ditjen Minerba pun optimistis bila investasi ini akan terus meningkat seiring dengan peningkatan produksi hingga akhir tahun ini.
"Rendahnya investasi di TW (triwulan) 1 2021 merefleksikan awal akselerasi capaian investasi yang akan meningkat seiring kurva kegiatan produksi sampai dengan akhir tahun," tandasnya.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Association/IMA) Djoko Widajatno Soewanto mengatakan, ada beberapa hal yang memengaruhi investasi di bidang sumber daya alam (SDA).
Beberapa faktor tersebut antara lain persyaratan investasi mengenai lingkungan hidup, tanggung jawab sosial, suku bunga, pertumbuhan ekonomi (GDP/ PDB), utilitas, birokrasi, kualitas SDM, regulasi, stabilitas politik dan keamanan, serta faktor sosial budaya.
Menurutnya, Indonesia memiliki besaran pajak tertinggi di Asia Tenggara, sehingga Indonesia menjadi pilihan terakhir untuk berinvestasi. Di samping itu, imbuhnya, pemerintah juga berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan royalti dari komoditas emas dan batu bara.
"Ini menghambat investasi di industri ekstraktif. Belum lagi, perbankan dan anggota G20, mulai enggan mendanai proyek energi fosil, membuat Indonesia menuju energi transisi," jelasnya.
Dia pun membeberkan beberapa hal yang membuat investasi di sektor pertambangan lambat, antara lain adanya persyaratan global berupa Environmental, Social, and Governance (ESG), regulasi yang meragukan, masalah limbah, izin lingkungan, dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
"Dengan adanya UU Cipta Kerja semakin panjang regulasinya, sehingga kepastian hukum dan berusaha di bidang industri ekstraksi belum dirasakan," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, rencana investasi masing-masing perusahaan punya jadwal yang berbeda-beda.
"Tidak semuanya 100% dikucurkan di kuartal I. Juga sangat tergantung faktor-faktor lain, seperti misalnya harga komoditas, perizinan, regulasi, dan lain-lain," ujarnya.