Jokowi Minta Hilirisasi, Larangan Ekspor Bauksit Dipercepat?
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo sudah bertitah agar kekayaan alam Indonesia di sektor tambang seperti bauksit tidak dijual mentah, melainkan harus bernilai tambah terlebih dahulu.
Di dalam Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) ekspor mineral yang belum dimurnikan seperti konsentrat hanya dibatasi tiga tahun sejak UU ini berlaku pada 10 Juni 2020. Artinya, setelah 10 Juni 2023 tidak boleh lagi ekspor konsentrat.
Lantas, apakah pemerintah akan mempercepat larangan ekspor bauksit dari yang telah diatur dalam UU Minerba tersebut?
Menanggapi hal ini, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto mengatakan, ekspor bijih atau konsentrat, termasuk bauksit, akan dilarang setelah tahun 2023 sebagaimana termuat di dalam UU Minerba.
"Sesuai dengan UU No 4 (tahun 2009) maupun UU No 3 (tahun 2020) kan ekspor ore (bijih) dilarang ya setelah 2023," ungkapnya dalam konferensi pers secara daring, Selasa (26/10/2021).
Menurutnya, pemerintah akan terus mendorong hilirisasi. Dengan demikian, pada 2023 ekspor komoditas tambang sudah tidak lagi barang mentah, namun minimal produk setengah jadi.
"Jadi diharapkan di situ hilirisasi, makanya fungsinya hilirisasi itu diharapkan 2023 sudah tidak ekspor bukan lagi ore, tapi jadi produk setengah jadi," jelasnya.
Indonesia memiliki sumber "harta karun" bauksit yang cukup besar, bahkan cukup besar untuk masuk ke dalam peringkat keenam terbesar dunia untuk pemilik cadangan bauksit.
Berdasarkan data Booklet Bauksit 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengolah data USGS Januari 2020, jumlah cadangan bauksit Indonesia mencapai 1,2 miliar ton atau 4% dari cadangan bijih bauksit dunia yang sebesar 30,39 miliar ton.
Adapun pemilik cadangan bijih bauksit terbesar di dunia yaitu Guinea mencapai 24%, lalu Australia menguasai 20%, Vietnam 12%, Brazil 9%, dan kemudian di peringkat kelima ada Jamaika 7%.
Berdasarkan data Kementerian ESDM ini, jumlah sumber daya bijih terukur bauksit Indonesia mencapai 1,7 miliar ton dan logam bauksit 640 juta ton, sementara cadangan terbukti untuk bijih bauksit 821 juta ton dan logam bauksit 299 juta ton.
"Indonesia memiliki cadangan bauksit nomor 6 terbesar di dunia, artinya Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku bauksit dunia," tulis Booklet Bauksit 2020 tersebut.
Namun demikian, besarnya "harta karun" bauksit itu belum dimanfaatkan dengan optimal. Bahkan, RI masih mengimpor logam aluminium sebanyak 748 ribu ton setiap tahunnya. Padahal, negeri ini tidak perlu mengimpor aluminium bila dibangun industri pengolahan (smelter) bauksit menjadi alumina hingga aluminium.
Alumina merupakan produk olahan dari smelter bauksit. Alumina ini merupakan bahan baku yang bisa diolah lagi menjadi aluminium. Aluminium ini memiliki manfaat dan nilai tambah besar, bisa digunakan untuk bahan baku bangunan dan konstruksi, peralatan mesin, transportasi, kelistrikan, kemasan, barang tahan lama, dan lainnya.
Bila Indonesia memiliki industri aluminium terintegrasi dari hulu atau tambang bauksit, lalu smelter alumina, dan smelter aluminium, maka bukan tak mungkin target penerimaan negara Rp 1.000 triliun dari sektor industri pertambangan bisa terwujud.
Adapun kebutuhan impor logam aluminium sebesar 748 ribu ton per tahun itu untuk memenuhi kebutuhan logam aluminium nasional yang diperkirakan mencapai sebesar 1 juta ton, sebagaimana data pada 2020.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pembinaan Program Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Sunindyo Suryo.
Dia mengatakan, produksi aluminium PT Inalum (Persero) saat ini sebesar 250.000 ton per tahun, sehingga masih kurang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Kebutuhan nasional logam aluminium pada tahun 2020 mencapai 1 juta ton. Dengan kapasitas produksi PT Inalum saat ini sebesar 250.000 ton per tahun, terdapat kekurangan sekitar 748 ribu ton logam aluminium yang diimpor," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (01/10/2021).
Masih kurangnya pasokan logam aluminium di dalam negeri ini artinya Indonesia perlu kembali menambah smelter aluminium baru, sehingga permintaan logam aluminium di Tanah Air ini bisa sepenuhnya dipasok dari dalam negeri.
"Kebutuhan smelter baru dengan kapasitas 3 x 250 ribu ton aluminium per tahun memerlukan biaya investasi sekitar US$ 1-2 miliar," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, penguasaan teknologi dalam industri aluminium harus diupayakan secara bertahap. Salah satu contohnya adalah dengan membentuk suatu perusahaan domestik.
"Perusahaan domestik ini nantinya bisa menangani jasa teknik, pengadaan barang, dan konstruksi (Engineering, Procurement and Construction/ EPC) di bidang pembangunan fasilitas pengolahan-pemurnian alumina dan smelter aluminium," jelasnya.