Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar ekspor bauksit disetop mulai tahun 2022 mendatang. Mengenai rencana pelarangan itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Association/IMA) Djoko Widajatno Soewanto pun angkat bicara.
Menurutnya, sementara ini, industri-industri yang bakal menyerap bauksit sudah akan rampung di tahun 2025 mendatang. Sehingga jika ekspor disetop akan terjadi percepatan dalam pembangunan smelter.
Jika produk yang dihasilkan semakin hilir maka peningkatan nilai tambah akan terserap di dalam negeri.
"Ini yang diarahkan oleh Presiden Jokowi kepada pemilik smelter dan pemilik tambang," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (25/11/2021).
Sebagai informasi, cadangan bauksit RI peringkat keenam terbesar dunia. Berdasarkan data Booklet Bauksit 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengolah data USGS Januari 2020, jumlah cadangan bauksit Indonesia mencapai 1,2 miliar ton atau 4% dari cadangan bijih bauksit dunia yang sebesar 30,39 miliar ton.
Adapun pemilik cadangan bijih bauksit terbesar di dunia yaitu Guinea mencapai 24%, lalu Australia menguasai 20%, Vietnam 12%, Brazil 9%, dan kemudian di peringkat kelima ada Jamaika 7%.
Berdasarkan data Kementerian ESDM ini, jumlah sumber daya bijih terukur bauksit Indonesia mencapai 1,7 miliar ton dan logam bauksit 640 juta ton, sementara cadangan terbukti untuk bijih bauksit 821 juta ton dan logam bauksit 299 juta ton.
"Indonesia memiliki cadangan bauksit nomor 6 terbesar di dunia, artinya Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku bauksit dunia," tulis Booklet Bauksit 2020 tersebut.
Namun demikian, besarnya "harta karun" bauksit itu belum dimanfaatkan dengan optimal. Bahkan, RI masih mengimpor logam aluminium sebanyak 748 ribu ton setiap tahunnya.
Padahal, negeri ini tidak perlu mengimpor aluminium bila dibangun industri pengolahan (smelter) bauksit menjadi alumina hingga aluminium.
Alumina merupakan produk olahan dari smelter bauksit. Alumina ini merupakan bahan baku yang bisa diolah lagi menjadi aluminium.
Aluminium ini memiliki manfaat dan nilai tambah besar, bisa digunakan untuk bahan baku bangunan dan konstruksi, peralatan mesin, transportasi, kelistrikan, kemasan, barang tahan lama, dan lainnya.
Bila Indonesia memiliki industri aluminium terintegrasi dari hulu atau tambang bauksit, lalu smelter alumina, dan smelter aluminium, maka bukan tak mungkin target penerimaan negara Rp 1.000 triliun dari sektor industri pertambangan bisa terwujud.
Adapun kebutuhan impor logam aluminium sebesar 748 ribu ton per tahun itu untuk memenuhi kebutuhan logam aluminium nasional yang diperkirakan mencapai sebesar 1 juta ton, sebagaimana data pada 2020.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pembinaan Program Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Sunindyo Suryo. Dia mengatakan, produksi aluminium PT Inalum (Persero) saat ini sebesar 250.000 ton per tahun, sehingga masih kurang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Kebutuhan nasional logam aluminium pada tahun 2020 mencapai 1 juta ton. Dengan kapasitas produksi PT Inalum saat ini sebesar 250.000 ton per tahun, terdapat kekurangan sekitar 748 ribu ton logam aluminium yang diimpor," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (01/10/2021).
Masih kurangnya pasokan logam aluminium di dalam negeri ini artinya Indonesia perlu kembali menambah smelter aluminium baru, sehingga permintaan logam aluminium di Tanah Air ini bisa sepenuhnya dipasok dari dalam negeri.
"Kebutuhan smelter baru dengan kapasitas 3 x 250 ribu ton aluminium per tahun memerlukan biaya investasi sekitar US$ 1-2 miliar," jelasnya.