Kenaikan Harga Komoditas Diprediksi Hingga Akhir 2021
JAKARTA, investor.id – Lonjakan harga komoditas diprediksi bisa terus berlanjut hingga akhir tahun 2021. Kenaikan harga komoditas dipicu oleh tingginya permintaan negara-negara yang ekonominya mulai pulih, terutama Tiongkok dan Amerika Serikat. Sejumlah komoditas yang harganya masih berpotensi menguat di antaranya minyak mentah, batu bara, mineral logam seperti nikel, timah, aluminium, dan tembaga, serta komoditas pertanian seperti minyak sawit (crudepalm oil/CPO). Seiring tingginya permintaan, beberapa harga komoditas sudah kembali ke level harga di Januari 2020 atau saat WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi. Komoditas timah mencatatkan kenaikan 89% sejak Januari 2020 hingga akhir Mei 2021, disusul tembaga (69%), kedelai (66%), batu bara (54%), CPO (44%), aluminium (37%), biji coklat (31%), nikel (30%), dan emas (19%). Sementara itu, harga minyak mentah Indonesia atau ICP mencatatkan kenaikan sebesar 155% per akhir Mei 2021 dibandingkan periode sama tahun lalu (year on year/yoy) dan naik 37% sepanjang 2021 (year to date/ytd). Lalu, harga minyak WTI naik sebesar 128% yoy dan naik 39% ytd, dan minyak mentah Brent naik 119% yoy dan 36% ytd. Komoditas lain yang juga mencatatkan kenaikan di atas 100% secara yoy adalah timah (109%), lalu disusul batu bara (104%), dan CPO (102%). Adapun sepanjang tahun ini hingga akhir Mei 2021 (ytd), harga timah naik 63%, disusul minyak mentah WTI sebesar 39%, dan minyak mentah ICP sebesar 37%. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal. Foto: IST Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal. Foto: IST Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tren kenaikan harga berbagai komoditas, antara lain minyak mentah, batu bara, CPO, dan nikel, dipacu oleh pemulihan ekonomi yang lebih cepat di luar negeri dan global daripada kondisi Indonesia dan sebagian negara lain yang masih bertarung melawan pandemi Covid-19. Menurut dia, kenaikan harga komoditas di pasar global yang diperkirakan terus berlanjut hingga akhir tahun 2021 terutama di-trigger oleh negara Tiongkok yang ekonominya sudah kembali bangkit terdepan. Negara raksasa ekonomi dunia ini sekarang membutuhkan banyak komoditas tersebut untuk menopang industrinya yang kembali menggeliat. “Tren harga komoditas itu akan terus naik setidaknya sampai akhir tahun 2021 karena pemulihan ekonomi dunia, terutama dipicu oleh Tiongkok yang paling pertama berhasil mengatasi pandemi Covid-19. Harga komoditas global semakin naik signifikan dan sudah di atas harga sebelum pandemi karena pasokannya, di antaranya Indonesia, masih terganggu karena pandemi,” ujar Faisal. Selain itu, kenaikan harga komoditas ditopang oleh impor Amerika Serikat (AS) yang terus meningkat di tengah keyakinan ekonomi warganya yang semakin membaik Walaupun belum sepenuhnya berhasil mengatasi pandemi Covid-19, AS dinilai pada jalur yang benar untuk memenanginya karena tren vaksinasi Covid-19 paling progresif dan cepat di dunia. Perkembangan harga komoditas dan pemulihan ekonomi Perkembangan harga komoditas dan pemulihan ekonomi Jika Tiongkok banyak mengimpor komoditas sebagai bahan baku, AS banyak mengimpor barang setengah jadi dan produk jadi. Tindakan AS tersebut dinilai ikut menjadi sentimen positif mendorong kenaikan harga komoditas dunia sebagai penopang dari industri pengolahan produk setengah/jadi. “Harga komoditas kemungkinan hanya akan menguat hingga akhir tahun 2021 ini dan akan mulai turun pada 2022 seiring dengan prediksi melandainya pandemi dan kembali normalnya pasokan komoditas,” imbuhnya. Karena itu, Faisal pun mengingatkan pemerintah Indonesia untuk terus menggalakkan hilirasasi komoditas menjadi produk setengah/jadi, terutama pada sektor tambang dan perkebunan. Tujuannya agar nilai tambah jual ekspor komoditas Indonesia meningkat dan menciptakan lapangan kerja baru di Tanah Air. Dia pun menyebut keberhasilan program hilirasi nikel menjadi bahan baku setengah jadi, sehingga mulai berkontribusi terhadap nilai jual ekspor di tengah pandemi Covid-19. Pamerintah pun didorongnya terus menjadikan nikel sebagai produk jadi, seperti baterai dan mobil listrik yang memiliki nilai tambah/jual lebih tinggi lagi. “Saat ini, kontribusi komoditas kita Indonesia terhadap ekspor masih tinggi berkisar 40-60%, sehingga sangat terpengaruh oleh fluktuasi harga. Jika berhasil melakukan hilirarasi, ke depan, fluktuasi harga komoditas pengaruhnya ke nilai ekspor bisa kita tekan,” tutur Faisal. Sementara itu, CORE Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2021 berkisar 4-5%, lebih rendah dari proyeksi pemerintah yang optimistis 7-8%. Sementara itu, sepanjang tahun 2021, CORE Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi 3-4%. Pertumbuhannya ditopang oleh nilai ekspor yang trennya meningkat sejak pandemi Covid-19 tahun 2020 yang juga didukung tren kenaikan harga komoditas tahun 2021. Selanjutnya, pertumbuhan juga ditopang oleh membaiknya konsumsi rumah tangga di dalam negeri, serta investasi dan belanja pemerintah. “Kontribusi terbesar kepada pertumbuhan ekonomi kalau untuk Indonesia tetap dari konsumsi rumah tangga yang terus membaik tahun ini. Tapi, kalau dari kontribusi pertumbuhan terbesar ada pada ekspor karena di antaranya tertolong oleh harga komoditas global, selain tentu saja, investasi membaik dan ditunjang belanja pemerintah,” pungkas Faisal. Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Foto: IST Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Foto: IST Senada,Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, harga komoditas sedang dalam tren naik sepanjang 2021 karena didorong oleh peningkatan permintaan di negara- negara yang ekonominya sudah pulih. Menurut dia, pemulihan ekonomi bisa dilihat dari indeks keyakinan konsumen dan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur terutama Tiongkok dan Amerika Serikat yang membaik, bahkan di Tiongkok saat ini dalam posisi ekspansi. Harga komoditas yang masih berpotensi naik, lanjut Bhima, yakni minyak bumi, batu bara, CPO, dan mineral logam seperti nikel dan timah. Permintaan nikel dan timah akan masih tinggi karena dibutuhkan untuk bahan baku industri baterai mobil listrik. “Apakah kenaikan harga komoditas bisa sampai tahun 2022? Masih ada sejumlah tantangan yang mesti diantisipasi. Salah satunya adalah kebijakan rebalancing (keseimbangan kembali) ekonomi Tiongkok,” ujar dia. Selain itu, dia menyebut tantangan lainnya adalah hubungan dagang Tiongkok dengan AS yang memanas lagi juga perlu diantisipasi. “Kita juga harus antisipasi sekarang ini banyak negara seperti Tiongkok dan AS sedang menggalakkan energy baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan, sehingga para pelaku usaha komoditas kita perlu mendiversifikasi produknya,” katanya. Pengamat energi Komaidi Notonegoro. Foto; IST Pengamat energi Komaidi Notonegoro. Foto; IST Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro juga mengatakan saat ini hampir semua komoditas mengalami kenaikan harga. Hal ini tak hanya di Indonesia namun juga di sejumlah negara seperti India, Amerika Serikat, bahkan di Eropa. Menurut dia, harga akan terus merangkak naik hingga akhir tahun. Apalagi, kata dia, jika penanganan pandemi Covid-19 berlangsung baik. “Secara perlahan harga akan naik terus hingga akhir tahun, bahkan kemungkinan akan terus berlanjut ke 2022,” kata Komaidi. Untuk minyak dunia, dia memperkirakan bakal berada di kisaran US$ 75-80 per barel, sementara batu bara bisa mencapai US$ 105 per ton hingga akhir 2021. Namun demikian, Komaidi mengingatkan kenaikan harga terutama minyak mentah, perlu disikapi hati- hati. Hal ini karena kenaikan harga akan berdampak pada meningkatnya subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. Perkembangan harga komoditas Indonesia & dunia Perkembangan harga komoditas Indonesia & dunia “Ini terjadi karena produksi minyak kita jauh lebih rendah dibanding konsumsi, sehingga kenaikan harga minyak mentah otomatis akan meningkatkan jumlah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah, jika memang pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM,” paparnya. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas batu bara yang akan berdampak pada biaya produksi listrik. Dia mengakui bahwa pemerintah telah mematok harga batu bara untuk PLN sebesar US$ 70 per ton, namun tentunya pelaku usaha batu bara akan meminta insentif kepada pemerintah dalam bentuk lain. “Utang PLN saja sudah Rp 500 triliun saat harga komoditas masih rendah. Apalagi kalau harga meningkat. Ini juga harus disikapi secara bijaksana,” kata Komaidi. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia. Foto: IST Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia. Foto: IST Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, pergerakan harga batu bara sulit diprediksi terus menguat hingga akhir tahun. Namun dia berharap harga terus membaik hingga penghujung 2021. “Wah kalau proyeksi ke depan tentu saja sulit. Tapi kalau ditanya harapannya, ya berharap kondisi harga terus bertahan hingga akhir tahun,” ujarnya. Hendra mengungkapkan kondisi perekonomian saat ini hampir mirip seperti tahun 2008-2009. Kala itu dunia tengah menghadapi resesi ekonomi. Namun Indonesia mampu bertahan seiring membaiknya harga komoditas antara lain batu bara. “Batu bara dapat membantu neraca perdagangan dan current account,” ujarnya. Head of Corporate Communication Adaro Energy Febrianti Nadira menuturkan, pergerakan harga batu bara sulit dikontrol. Oleh sebab itu, pihaknya lebih fokus terhadap keunggulan operasional bisnis inti, meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasi, menjaga kas dan mempertahankan posisi keuangan yang solid di tengah situasi sulit yang berdampak terhadap sebagian besar dunia usaha. Head of Corporate Communication Adaro Energy Febrianti Nadira. Foto: IST Head of Corporate Communication Adaro Energy Febrianti Nadira. Foto: IST “Adaro akan terus mengikuti perkembangan pasar dengan tetap menjalankan kegiatan operasi sesuai rencana di tambang-tambang milik perusahaan dengan terus berfokus untuk mempertahankan marjin yang sehat dan kontinuitas pasokan ke pelanggan,” ujarnya. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi sebelumnya mengatakan, Harga Batu Bara Acuan (HBA) Juni 2021 naik US$ 10,59 per ton dibandingkan bulvan sebelumnya yang berada di posisi US$ 89,74 per ton. HBA Juni ditetapkan sebesar US$ 100,33 per ton. Agung mengungkapkan tren kenaikan harga batu bara dalam dua bulan terakhir ini utamanya didorong oleh peningkatan permintaan dari Tiongkok akibat periode musim hujan di negara tersebut, serta semakin tingginya harga domestik batu bara setempat. “Kenaikan permintaan (Tiongkok) untuk keperluan pembangkit listrik yang melampaui kapasitas pasokan batu bara domestik,” ujarnya. Harga batu bara pada Juni ini merupakan tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Tercatat pada November 2018 HBA mencapai US$ 97,90/ton. (rap/jn)
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Kenaikan Harga Komoditas Diprediksi Hingga Akhir 2021"