Jakarta, CNBC Indonesia - Konsumsi batu bara di dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) hingga 2020 telah naik 54% sejak 2015, yakni dari 86 juta ton pada 2015 menjadi 132 juta ton pada 2020.
Secara rinci capaian DMO dari tahun ke tahun yakni 2015 sebesar 86 juta ton, lalu pada 2016 naik menjadi 91 juta ton, 2017 97 juta ton, 2018 naik menjadi 115 juta ton, 2019 naik menjadi 138 juta ton, namun pada 2020 terjadi penurunan sebesar 4,3% dari 2019 menjadi 132 juta ton.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Senin (22/03/2021).
Arifin mengatakan, kebutuhan batu bara dalam negeri dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dikarenakan beberapa hal. Pertama, kebutuhan batu bara untuk PLTU terus mengalami peningkatan, lalu adanya kewajiban membangun smelter yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, serta kebutuhan akan tempat tinggal semakin meningkat, sehingga meningkatkan permintaan semen.
"Kebutuhan batu bara untuk pembangkit telah terpenuhi oleh produksi batu bara dalam negeri. Sementara penggunaan batu bara untuk pembangkit mencapai kurang lebih 79% dari total kebutuhan batu bara dalam negeri," tuturnya.
Dari konsumsi batu bara untuk domestik tersebut, mayoritas diserap untuk pembangkit listrik. Konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik juga naik 50% sejak 2015. Pada 2015, konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik mencapai 70 juta ton, lalu naik jadi 74,1 juta ton pada 2016, 82,3 juta ton pada 2017, 89,3 juta ton pada 2018, 97,8 juta ton pada 2019, dan 104,8 juta ton pada 2020.
Adapun produksi batu bara juga mengalami kenaikan yakni mencapai sekitar 30% sejak 2015. Pada 2015 produksi batu bara mencapai 462 juta ton, lalu naik menjadi 456 juta ton pada 2016, 461 juta ton pada 2017, lalu naik signifikan menjadi 558 juta ton pada 2018, 616 juta ton pada 2019, dan turun menjadi 564 juta ton pada 2020.