a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Mobil Listrik Butuh Tambahan Insentif

Mobil Listrik Butuh Tambahan Insentif
JAKARTA, investor.id – Sukses peralihan mobil berbahan bakar fosil ke mobil listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang lebih jelas dan tegas.

Salah satu kebijakan penting yang perlu segera diberikan adalah tambahan insentif pajak dan berbagai kemudahan bagi pengembangan BEV. Keberpihakan pemerintah pada BEV akan mengakselerasi penggunaan mobil listrik dan sekaligus memperkuat pabrik baterai nasional, menciptakan ekosistem dan bisnis baru dari hulu ke hilir, dari pertambangan dan smelter hingga perakitan mobil listrik serta bisnis daur ulang baterai. Mobil BEV menggunakan baterai 50 kali lipat lebih banyak dari hybrid electric vehicle (HEV) maupun plugin electric vehicle (PHEV).

Namun, jika subsudi tetap diberikan kepada mobil hybrid, maka transisi menuju mobil listrik akan panjang dan bisa jadi Indonesia bakal tertinggal. Pengembangan BEV membutuhkan tambahan insentif pajak agar harganya bisa lebih terjangkau dan mendekati mobil bermesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE).

Peta jalan SPKLU, SPBKLU, serta potensi kendaraan listrik Peta jalan SPKLU, SPBKLU, serta potensi kendaraan listrik Insentif tambahan itu antara lain tarif bea masuk (BM) 0% untuk impor BEV dalam bentuk utuh (completely built up/CBU), serta pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) 0%. Tambahan insentif itu sangat dibutuhkan, mengingat insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) 0% untuk BEV tidak cukup menekan harga jual mobil listrik.

Saat ini, sejumlah pemain BEV, seperti Hyundai Indonesia dan Prestige Image Motorcars sudah menerima insentif PPnBM 0%. Bahkan, Hyundai Ioniq EV dan Kona EV sudah mendapatkan insentif bea balik nama (BBN) 0% untuk DKI Jakarta, dengan tarif bea masuk (BM) impor 5%. Penjualan hybrid EV dan baterry EV di Indonesia Penjualan hybrid EV dan baterry EV di Indonesia Namun, tetap saja, harga dua BEV ini masih mahal, sekitar Rp 600 jutaan. Perinciannya, Ioniq Prime Rp 624,8 juta, Ioniq Signature Rp 664,8 juta, dan SUV Kona EV Rp 674,8 juta (OTR Jakarta).

Sementara itu, Prestige, pemain khusus mobil-mobil mewah menjual Tesla Model 3 sebesar Rp 1,5 miliar. Total tarif pajak Tesla Model 3 sekitar 80%. Padahal, segmen mobil yang paling laris di Indonesia berada di kisaran harga jual Rp 200-300 juta. Berdasarkan riset Universitas Indonesia (UI), rentang harga ideal mobil listrik berkisar Rp 300-350 juta. Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya. Foto: IST Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya.

Martawardaya menuturkan, harga mobil listrik ideal berkisar Rp 300-400 juta. Itu sebabnya, dibutuhkan sejumlah insentif untuk menekan harga mobil listrik yang saat ini di atas Rp 600 juta.

Di negara-negara maju, dia menuturkan, pemerintah setempat memberikan subsidi harga jual untuk menarik masyarakat membeli mobil listrik. Tetapi, ini hanya bisa dilakukan dengan kemampuan fiskal yang kuat. Komitmen penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai Komitmen penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai Kebijakan ini, kata dia, susah diterapkan di Indonesia, karena rawan dipolitisasi. “Contohnya, akan muncul pertanyaan sinis, seperti untuk apa menyubsidi kalangan menengah atas membeli mobil? Selain itu, daya dukung fiskal tak sekuat negara-negara maju,” kata dia, Sabtu (27/3).

Opsi kedua, dia menuturkan, adalah penurunan semua pajak terkait BEV ke 0%, seperti PPnBM, BM, PPN, dan PPh. Saat ini, impor mobil listrik dalam bentuk utuh masih dikenakan tarif bervarasi, 5-50%, plus PPN dan PPh masing-masing 10%. “Indonesia perlu mengikuti best global practice untuk mendorong BEV,” tegas dia. Pengamat otomotif Bebin Djuana. Foto: IST Pengamat otomotif Bebin Djuana. Foto: IST Senada dengan Berly, pengamat otomotif Bebin Djuana mengatakan, percepatan pengembangan BEV tidak hanya bisa dilakukan melalui pemberian insentif PPnBM 0%.



Namun, bisa juga dilakukan dengan pemberian insentif pajak-pajak lain, seperti PPN 0%. Dengan ini, harga BEV dapat berkurang dan diharapkan lebih menarik bagi masyarakat. “Misalnya, tarif PPN BEV dipangkas menjadi 5% atau 0%. Dengan penurunan ini, harga BEV bisa menarik dan bersaing dengan mobil elektrifikasi lain, seperti hybrid,” kata Bebin. Dia meyakini dengan langkah itu, pemerintah tak perlu meningkatkan PPnBM mobil hybrid, baik itu hybrid electric vehicle (HEV) maupun plug-in electric vehicle (PHEV), karena harga BEV bisa lebih bersaing.

Bebin menilai, kerangka awal pemerintah untuk mengembangkan kendaraan listrik sudah benar. Karena itu, dia menilai pemerintah tidak perlu meningkatkan PPnBM mobil hybrid. Apalagi, saat ini, kebutuhan konsumen berbeda-beda.

“Bahkan, saya berpikir tahapannya sebelum menuju ke mobil listrik, sebelum manusia menyesuaikan dirinya ke mobil listrik, ya lewat mobil hybrid. Sebab, mobil listrik yang bisa menjangkau Jakarta-Semarang langsung tanpa charging sulit ditemukan.

Apalagi, kalau Jakarta-Surabaya. Ini contoh saja, karena kebutuhan manusia beda-beda,” kata Bebin. Selain dari sisi insentif, Bebin mengatakan, pemerintah harus mempersiapkan sarana dan prasarana pembangunan industri mobil listrik dalam negeri, seperti persiapan pelabuhan, kawasan industri, dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk mendukung pengembangan industri mobil listrik.

Usulan perubahan tarif PPnBM Usulan perubahan tarif PPnBM Bebin meyakini Indonesia bakal bisa mengembangkan mobil listrik dalam negeri dan menjadi salah satu produsen terbesar baterai mobil listrik di dunia. “Sebetulnya, daya tarik sudah ada, tinggal disiapkan saja untuk mengundang investor supaya tidak hanya pemain lama saja yang berkiprah di sini,” kata Bebin.

Dia juga mengatakan, pembangunan pabrik BEV tidak hanya bisa dilakukan di Jawa, tetapi juga di luar Jawa. Hanya saja, Bebin kembali menekankan, pemerintah mesti menyiapkan sarana dan prasarana yang memudahkan investor mengoperasikan pabrik tersebut.

Misalnya, dengan menyiapkan kawasan industri yang tidak jauh dari pelabuhan, sehingga lebih mudah dijangkau. “Peluang sudah di depan mata, tinggal bagaimana mengelola dan memproduksinya. Ini juga tidak Cuma soal kendaraan penumpang, tapi juga butuh bus listrik dan pick up listrik,” imbuh dia. (tl/ayu/rap/jn)

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Mobil Listrik Butuh Tambahan Insentif"

Read more at: http://brt.st/78g7