Jakarta - Pemerintah Indonesia siap memperjuangkan dan melakukan upaya pembelaan terhadap gugatan Uni Eropa (UE) atas sengketa DS 592 – Measures Relating to Raw Materials. Pemerintah Indonesia akan selalu memperjuangkan sumber daya alam dan kekayaan bumi nusantara demi kemajuan Indonesia. Hal ini menanggapi langkah UE yang secara resmi untuk kedua kalinya meminta pembentukan panel sengketa DS 592 – Measures Relating to Raw Materials pada pertemuan reguler Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body – WTO) pada 22 Februari 2021.
NERACA
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan, Pemerintah Indonesia telah siap untuk memperjuangkan dan melakukan upaya pembelaan terhadap gugatan UE. “Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan berkeyakinan, kebijakan dan langkah yang ditempuh Indonesia saat ini telah konsisten dengan prinsip dan aturan Badan Perdagangan Dunia (WTO),” ungkap Lutfi
Selain itu, Lutfi menekankan, meskipun menyesalkan tindakan dan langkah UE, proses sengketa di WTO merupakan suatu hal yang biasa dan wajar terjadi manakala terjadi persoalan di antara anggota WTO.
“Tindakan dan langkah yang dilakukan UE tentunya dapat menghalangi proses pembangunan dan kemajuan Indonesia di masa yang akan datang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, tindakan ini merupakan hal yang biasa dan wajar terjadi manakala terjadi persoalan di antara anggota WTO,” ujar Lutfi.
Menanggapi permasalahan di dalam ranah perdagangan internasional termasuk gugatan di WTO, Presiden Joko Widodo juga telah memberikan arahan untuk dihadapi secara maksimal sehingga tidak mengganggu agenda pembangunan nasional.
Untuk itu, lanjut Lutfi, Pemerintah Indonesia akan terus mempertahankan kebijakan di sektor mineral dan batubara (minerba) guna mendukung transformasi Indonesia menjadi ekonomi maju dengan tetap mengutamakan tata kelola yang baik, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.
“Indonesia juga berkomitmen untuk terus menerapkan good mining practices serta memperjuangkan kepentingan Indonesia pada sengketa nikel. Hal ini sebagai wujud pelaksanaan amanat konstitusi dalam memanfaatkan sumber daya alam dan kekayaan bumi nusantara dengan cara yang baik dan berkesinambungan demi kemajuan Indonesia dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang,” papar Lutfi.
Lutfi pun menjelaskan, tuduhan dan upaya litigasi UE tersebut dinilai sangat mengedepankan kepentingan ekonomi dan industrinya tanpa memperhatikan hak berdaulat bangsa dan rakyat Indonesia sebagai negara berkembang yang ingin mengatur dan mengelola sumber dayanya secara terukur dan berkesinambungan.
“Dengan dalih menjaga ketersediaan bahan baku bagi kebutuhan industrinya serta opini bahwa kebijakan Indonesia sebagai bentuk distorsi terhadap perdagangan internasional, UE mencoba menghalangi upaya Indonesia untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri demi kemakmuran dan kemajuan Indonesia di masa yang akan datang dengan cara yang lebih baik, berdaya saing, dan berwawasan lingkungan,” terang Lutfi.
Menggunakan alasan bertentangan dengan ketentuan WTO dan mengganggu mekanisme perdagangan internasional, langkah UE tersebut telah menegaskan suatu pandangan bahwa UE sebagai kelompok ekonomi maju ingin mengamankan kepentingannya, meskipun hal tersebut akan memberikan dampak kepada negara berkembang dalam mengelola sumber daya alamnya, pembangunan ekonomi, tata kelola lingkungan, dan peran serta masyarakatnya. Upaya tersebut mengingatkan kembali kepada masa di mana eksploitasi sumber daya alam tidak untuk tujuan kemaslahatan pemilik sumber daya alam itu sendiri.
Sebelumnnya, Ketua Umum, Forum Nikel Indonesia (FINI), Alexander Barus mengungkapkan industri smelter tersebut telah membuktikan kontribusinya secara signifikan bagi perekonomian nasional. Tahun 2019, ekspor sekitar USD7 miliar. jadi, selain bermanfaat terhadap penerimaan devisa negara, juga bisa mengurangi defisit neraca perdagangan. Selain itu, investasinya sampai saat ini mencapai USD15-16 miliar. Oleh karena itu, dalam menjaga keberlangsungan usaha, FINI berharap kepada pemerintah agar dapat memberikan kemudahan izin dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
“Kami ingin industri smelter ada sinergi dengan industri hilir. Makanya, FINI bisa menjadi mitra yang produktif dengan pemerintah. Jadi, cita-cita kita untuk membangun produk nikel, terutama produk hilir yang high-tech bisa cepat dilakukan,” papar Alex.
Seperti diketahui, UE telah menyoroti langkah dan kebijakan Indonesia di sektor minerba dan pada akhirnya mengajukan secara resmi permintaan konsultasi kepada Indonesia di bawah mekanisme penyelesaian sengketa pada WTO di akhir November 2019.
Selanjutnya, proses konsultasi sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan antara Indonesia dan UE, telah dilaksanakan pada Januari 2021 di Sekretariat WTO di Jenewa. Dalam proses konsultasi ini, Pemerintah Indonesia telah menjelaskan atas pokok-pokok persoalan yang diangkat UE seperti pelarangan ekspor, persyaratan pemrosesan di dalam negeri, kewajiban pemenuhan pasar domestik (domestic market obligation), mekanisme dan persyaratan persetujuan ekspor dan pembebasan bea masuk bagi industri.
Indonesia telah menolak permintaan tersebut pada pertemuan DSB WTO di Januari 2021 karena yakin bahwa kebijakannya telah sesuai dengan ketentuan WTO dan amanat konstitusi. Namun demikian, dalam pertemuan reguler Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body – WTO) pada 22 Februari 2021, UE secara resmi untuk kedua kalinya meminta pembentukan panel sengketa DS 592 – Measures Relating to Raw Materials. Gugatan UE pada akhirnya berkurang dengan hanya mencakup dua isu, yakni pelarangan ekspor nikel dan persyaratan pemrosesan dalam negeri.
Sedangkan UE tetap mengajukan pembentukan panel dengan alasan karena pihaknya melihat kebijakan Indonesia sebagai tindakan yang tidak sejalan dengan ketentuan