Penambang Keluhkan Harga Beli Nikel di Smelter Masih Rendah
Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengeluhkan transaksi penjualan bijih nikel ke smelter masih belum mengikuti harga patokan mineral (HPM) yang ditetapkan meski telah diregulasi. Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa tata kelola nikel domestik harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Pasalnya hal ini berkaitan dengan perdagangan nikel hingga pendapatan negara. Mengacu pada Permen ESDM No 11/2020 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi mineral dan IUPK operasi produksi mineral logam yang memproduksi bijih nikel, wajib mengacu pada harga patokan mineral logam dalam melakukan penjualan bijih nikel.
APNI menyinggung pihak smelter belum membeli nikel ore dari pemegang izin usaha pertambangan sesuai dengan reulasi yang ditetapkan berdasarkan free on board (FoB). Perusahaan smelter malah membeli dengan sistem cost in insurance and freight (CIF). Harga FoB merupakan nilai beli di atas kapal tongkang. Artinya biaya asuransi dan angkutan ditanggung pembeli.
Sementara itu, CIF membebankan biaya angkutan dan asuransi kepada penjual. “Dalam pelaksanaanya, para penambang banyak menanggung ongkos kirim. Artinya dengan invoice yang diajukan menjadi tidak sesuai peraturan,” katanya kepada Bisnis, Kamis (11/11/2021).
Harga mineral acuan nikel pada November untuk kadar 1,7 persen untuk free on board (FoB) dihargai US$40,59 per wet metrik ton. Kemudian kadar 1,8 persen mencapai US$45,37 per wet metrik ton. Kemudian kadar 1,9 persen dihargai US$50,41 per wet metrik ton dan kadar 2 persen untuk FoB ditetapkan seharga US$55,72 per wet metrik ton.
Sementara itu di pasar dunia, harga nikel terus mengalami peningkatan seiring kebutuhan dunia akan komoditas ini. Harga nikel mencapai US$19.880 per ton pada Rabu (10/11/2021), atau naik 1,94 persen dari penutupan perdagangan sebelumnya. APNI mengaku telah berkirim surat dengan pemerintah tetapi hingga kini belum mendapat tanggapan.
Persoalan ini sejatinya telah terjadi sejak lama dan belum terselesaikan hingga kini. Di sisi lain, Meidy mendorong adanya sanksi kepada industri smelter yang melanggar aturan transaksi nikel. Dia menyebut transaksi dengan metode CIF ini akan memberi dampak menurunnya keuntungan yang diterima penambang. Ia menambahkan permintaan terhadap nikel terus membaik termasuk untuk bijin nikel kadar rendah.
Kendati begitu, harga yang diminta oleh industri smelter di luar aturan yang ada. “APNI memohon kepada pemerintah aturan Permen ESDM ini mengenai tata niaga bijih nikel betul-betul sesuai aturan,” katanya.
Secara terpisah, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menyebut sumber daya nikel yang masih tersedia 13,7 miliar ton bijih dengan total cadangan terbukti dan terkira 4,6 miliar ton bijih. Saat ini terdapat 19 smelter dengan target 4 smelter terbangun pada 2021.
“Pada tahun 2024, akan terbangun 30 smelter nikel dengan total rencana investasi lebih US$8 miliar,” katanya saat RDP dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (11/11/2021). Berdasarkan data kementerian, produksi nikel pig iron hingga kini telah mencapai 628.243 ton atau 69,83 persen dari target tahun ini 901,080 ton.
Sedangkan penjualan nikel pig iron baru 73.562 ton atau 8,17 persen dari target. Selanjutnya ferro nikel telah diproduksi 1,23 juta ton atau 58,82 persen dari rencana 2,10 juta ton. Adapun penjualan feronikel baru 812.357 ton atau 38,60 persen dari target. Selain itu, nikel matte telah diproduksi 68.173 ton atau 87,40 persen dari target 78.000 ton. Penjualan nikel jenis ini juga telah mencapai 55.410 ton atau 71,03 persen dari target.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul "Penambang Keluhkan Harga Beli Nikel di Smelter Masih Rendah", Klik selengkapnya di sini: https://ekonomi.bisnis.com/read/20211111/44/1464855/penambang-keluhkan-harga-beli-nikel-di-smelter-masih-rendah. Author: Rayful Mudassir Editor : Amanda Kusumawardhani
Download aplikasi Bisnis.com terbaru untuk akses lebih cepat dan nyaman di sini: Android: http://bit.ly/AppsBisniscomPS iOS: http://bit.ly/AppsBisniscomIOS