Pengumuman! Insentif Tax Holiday Bagi Smelter NPI dan Feronikel Dihapus
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah akan mengenakan pajak ekspor bagi nickel pig iron dan feronikel, selain itu juga akan ada kebijakan peniadaan pemberian tax holiday bagi perusahaan yang mengajukan izin baru untuk membangun smelter pig iron dan feronikel.
Sejatinya, tujuan insentif tax holiday adalah untuk industri pionir dan mendorong masuknya investasi sebanyak mungkin di Indonesia.
Namun, dengan kondisi kapasitas smelter pig iron dan feronikel sudah sangat besar dan investasi yang masuk juga sangat banyak maka kedua jenis nikel tersebut sudah tidak bisa dikategorikan lagi sebagai industri pelopor.
Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto tidak menampik, kedua kebijakan ini akan menahan investasi smelter pig iron dan feronikel yang baru ke depannya.
"Kami sudah hitung keekonomiannya, kami kira nilai keekonomiannya masih masuk hanya saja (investor) akan lebih hati-hati saja karena berpikir tidak dapat tax holiday dan akan bayar pajak ekspor juga. Namun, investasi secara keseluruhan belum tentu berkurang," tegasnya, akhir pekan lalu ke KONTAN.
Kendati demikian, Seto mengungkapkan, saat ini sudah ada 18 smelter yang beroperasi yang tidak menikmati tax holiday dan masih bisa untung. Adapun bagi keekonomian eksisting, pengenaan pajak progresif diproyeksikan tidak akan berdampak signifikan.
Seto berharap dengan kebijakan ini, pelaku usaha akan memilih mengolah nikel di dalam negeri menjadi produk yang bernilai tambah lebih tinggi dibanding langsung mengekspornya. Pemerintah optimistis karena roadmap hilirisasi nikel sudah terlihat jelas mulai dari investasi yang akan masuk hingga hasil produknya.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli mengusulkan, pengenaan pajak ekspor progresif tidak dikenakan berdasarkan jenis produk yang dihasilkan, misalnya nikel pig iron atau feronikel Namun, pajak ekspor tersebut dikenakan bagi pabrik pengolahan yang bahan bakunya adalah nikel tipe saprolite, yakni pabrik berteknologi pryrometalurgy.
"Artinya, produk nikel dalam bentuk nikel matte misalnya, yang juga menggunakan bahan baku nikel saprolite, semestinya juga dikenakan pajak ekspor tersebut, seperti halnya NPI dan Ferronickel," jelasnya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (23/1).
Rizal menjelaskan, pabrik pengolahan nikel termasuk yang berteknologi pryrometalurgy mempunyai nilai investasi yang cukup mahal, dengan resiko investasi yang cukup besar. Sementara di satu sisi, harga nikel di pasar global, memiliki tingkat volatilitas yang cukup tinggi. Mengacu pada harga nikel dalam 5 tahun terakhir yang berlaku di London Metal Exchange, harga nikel berkisar dari US$ 10.000 hingga US$ 20.000 perton.
Secara keekonomian, pabrik pengolahan nikel dengan sistem peleburan, umumnya dinyatakan menguntungkan serta investasi terjamin, jika harga nikel berkisar di angka US$ 15.000/ton. Artinya, jika harga nikel jatuh di bawah angka US$ 15.000/ton, maka resiko investasinya cukup tinggi. Dalam kondisi tersebut, lanjut Rizal, perusahaan terpaksa menanggung resikonya, tanpa adanya "intervensi" atau "bantuan" dari Pemerintah.
"Nah, karena itu, pemerintah tidak dapat serta merta mengenakan pajak ekspor terhadap produk nikel yang bahannya berasal dari nikel tipe saprolite, jika harga nikel di pasar dunia tidak mencapai level harga yang ekonomis," kata Rizal.
Menurutnya, pemerintah harus adil dan berimbang dalam hal ini. Jangan sampai ketika harga nikel jatuh di nilai yang tidak ekonomis, pemerintah diam-diam saja dan tidak memberikan bantuan apapun, namun pada saat harga tinggi pemerintah hadir untuk mengenakan pajak ekspor.
Maka dari itu, Rizal mengusulkan, perlu dibuat persyaratan-persyaratan atas pengenaan pajak itu. Misalnya, pajak ekspor dikenakan jika harga nikel selama 3 bulan terturut-turut, mencapai harga US$ 20.000/ton. Selain itu, pajak ekspor tersebut dikenakan bagi perusahaan yang telah beroperasi selama 3 tahun.
Sebelumnya, Djoko Widajatno, Executive Director Indonesian Mining Association (IMA) menilai pungutan pajak ekspor ini adil karena smelter tidak membayar royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lainnya. Sedangkan penambangnya wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), royalti, jaminan reklamasi, serta jaminan pasca-tambang.
"Tujuannya adalah menegakkan keadilan dalam kebijakan fiskal," jelasnya.
Menurutnya, setelah diatur kewajiban untuk memenuhi smelter dan ekspor bijih nikel dilarang, maka kebijakan pungutan ekspor progresif ini tidak akan berdampak pada pasokan nikel ke dalam negeri.
Namun, Djoko menilai bahwa pengenaan pajak ini berpotensi membuat pengusaha menjadi enggan membangun smelter.
Di lain pihak, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Prihadi Santoso mengatakan bahwa dalam jangka pendek akan mengurangi minat pembangunan smelter di Tanah Air.
"Namun, dalam jangka menengah dan panjang bila pemerintah konsisten akan memicu gairah pembangunan smelter," kata Prihadi.
Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mendukung pungutan pajak ekspor untuk kedua komoditas nikel ini supaya negara bisa mendapatkan value added dari industri pengolahan mineral.
Meidy menerangkan, jika ditarik ke belakang pada saat dahulu Kementerian ESDM mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian (IUP OPK Olah Murni) untuk pabrik atau smelter, output nikel dibebankan bea keluar. Namun, pada saat ditarik ke produk perindustrian dengan Izin Usaha Industri (IUI) bea keluarnya dibebaskan.
"Dalam hal ini apa yang didapatkan negara? Tidak ada. Kami miris di mana produk nikel misalnya saja nikel pig iron atau feronikel yang diekspor ke China itu dibebankan bea masuk sekitar 15%. Masa di kita gratis tetapi di sana terima 15% padahal mereka tidak produksi, tentu tidak fair," ujarnya.
Meidy berpesan semua produk terutama olahan mineral nikel harus memberikan kontribusi pada penerimaan negara. "Supaya negara mendapatkan value aded dari industri pengolahan mineral," kata Meidy.
Menurut Meidy, meskipun smelter membutuhkan investasi yang besar, di saat tren harga nikel yang sangat tinggi, produsen nikel mendapatkan untung yang besar. "Tentu nanti hasil pungutan tersebut untuk negara dan membangun daerah sehingga dari APNI sangat mendukung," tegasnya.