Punya fundamental solid, begini prospek komoditas tambang logam ke depan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komoditas logam, khususnya nikel dan timah, diproyeksi masih punya fundamental yang solid hingga tahun depan. Analis BRIDanareksa Sekuritas Stefanus Darmagiri memperkirakan, solidnya harga komoditas logam dasar seperti nikel dan timah akan berlanjut hingga semester pertama tahun depan.
Setidaknya, ada dua faktor yang mempengaruhi harga komoditas logam.
Pertama, permintaan nikel global yang kuat.
Kedua, kekhawatiran atas pasokan nikel global seiring adanya penghentian produksi sementara dan pembatasan listrik yang berdampak pada produksi nickel pig iron (NPI) di China.
Saat ini harga nikel dunia telah naik sekitar 24% secara year-to-date (ytd). Kenaikan ini ditengarai oleh sejumlah hal. Meningkatnya permintaan nikel dari sektor industri dan menipisnya persediaan nikel global.
Persediaan nikel gabungan, baik di London Metal Exchange (LME) dan Shanghai Futures Exchanges (SHFE) melorot 47,6% ytd menjadi 138.704 ton.
Selain itu, terjadi gangguan pasokan nikel global yang disebabkan oleh pemogokan buruh yang terjadi baru-baru ini di operasi penambangan Vale Sudbury di Kanada pada bulan Juni dan Juli 2021 silam.
Harga nikel sepanjang tahun ini juga dipengaruhi penutupan sementara dua area penambangan di Norilsk Nickel setelah terjadinya banjir.
Baca Juga: Ekspor timah dan tembaga bakal dilarang, ini dampaknya ke emiten komoditas mineral
Stefanus menilai, pembatasan daya (aliran listrik) akan berdampak pada permintaan nikel dengan menurunnya produksi baja antikarat atau stainless steel di China. Namun, pemulihan ekonomi global akan membantu mempertahankan produksi baja antikarat di luar wilayah China.
Dengan dampak limpahan dari kekhawatiran pasokan nikel akibat pandemi serta pembatasan listrik yang berdampak pada produksi NPI di China, Stefanus memperkirakan harga nikel global yang solid sepanjang paruh pertama 2022 sebelum melemah pada paruh kedua 2022.
“Kami mengasumsikan harga nikel rata-rata sebesar US$ 18.000 per ton untuk tahun 2021 dan 2022,” tulis Stefanus dalam riset, Kamis (25/11).
Dalam jangka panjang, nikel juga punya prospek menjanjikan. Permintaan nikel jangka panjang datang dari pengembangan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Dalam upaya mengurangi emisi karbon, negara-negara maju, seperti Negara di kawasan Eropa, Amerika Serikat, dan China akan gencar mengembangkan EV.
Penjualan mobil listrik diperkirakan akan meningkat dari 1,7 juta unit pada tahun 2020 menjadi sekitar 8,5 juta unit pada tahun 2025. Permintaan mobil listrik bahkan diperkirakan bakal naik menjadi 25,8 juta unit pada tahun 2030.
Seiring dengan masifnya pengembangan kendaraan listrik, permintaan nikel pun akan menanjak.
BRIDanareksa Sekuritas memperkirakan adanya tambahan permintaan nikel untuk baterai sekitar 255.000 ton dan 774.000 ton pada tahun 2025 dan 2030. Jumlah ini diperkirakan menyumbang 9% dan 22% dari total permintaan nikel global pada tahun 2025 dan 2030.
Pun demikian dengan komoditas timah. Harga timah diperkirakan solid seiring dengan naiknya permintaan timah yang kuat untuk elektronik disertai gangguan produksi tambang di negara-negara produsen utama seperti Malaysia dan Indonesia.
Namun, mengingat harga timah olahan sudah mencapai level yang tinggi, Stefanus memperkirakan harga timah akan moderat pada tahun 2022. Dus, Stefanus mengasumsikan harga timah olahan akan berada di level US$ 32.000 ton pada tahun ini dan akan melandai menjadi US$ 30.000/ton pada tahun depan.