a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

RI Mau Jadi Raja Baterai Dunia, Simak Roadmapnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Tim Percepatan Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan pihaknya sudah menyusun peta jalan (roadmap) pembangunan ekosistem industri baterai kendaraan listrik hingga 2027 mendatang.
Berdasarkan data yang dipaparkan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VII DPR RI, Senin (01/02/2021), pada 2021 ini akan digencarkan pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) di seluruh Indonesia.



Saat ini sudah ada 32 titik SPKLU di 22 lokasi dan proyek percontohan (pilot project) 33 SPBKLU. Selain itu, tahun ini juga direncanakan akan ada pengembangan sistem penyimpanan energi (energy storage system/ ESS).

"Roadmap pengembangan industri baterai EV dan ESS adalah hingga 2027. Tahun 2021 targetnya yaitu dimulainya pembangunan charging station atau SPKLU dan SPBKLU di seluruh Indonesia," ungkapnya dalam RDP, Senin (01/02/2021).

Kemudian, pada 2022 OEM ditargetkan akan mulai memproduksi kendaraan listrik di Indonesia. Lalu, pada 2024 smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) ditargetkan mulai beroperasi yang dikembangkan oleh PT Aneka Tambang Tbk dan pabrik Pabrik Precursor baterai dan katoda mulai beroperasi yang dikerjakan Pertamina dan MIND ID.

"Tahun 2022 perusahaan manufacturing EV diharapkan mulai beroperasi di Indonesia dan dari hulu sampai hilir direncanakan akan beroperasi pada 2024," jelasnya.

Kemudian, pada 2025 pabrik cell to pack mulai beroperasi yang dikembangkan oleh Pertamina dan PLN. Kemudian, pada 2026 ibu kota baru RI di Kalimantan Timur diharapkan sudah 100% mengadopsi kendaraan listrik.

Baca: Begini Cara PLN Gencarkan Infrastruktur Mobil Listrik
Lebih lanjut dia mengatakan pembangunan ekosistem industri baterai listrik secara terintegrasi dari hulu sampai hilir bakal membutuhkan investasi mencapai US$ 13-17 miliar atau sekitar Rp 182 triliun-Rp 238 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$).

"Dengan risiko teknologi yang tinggi dan pasar yang bergantung pada OEM," ungkapnya.

Teknologi baterai yang digunakan masih bergantung pada pemain global baterai dan OEM sebagai pembeli (offtaker), sementara Indonesia belum memiliki pengalaman memadai dalam membangun industri baterai listrik.

Dia mengatakan dalam 20 tahun ke depan penggunaan kendaraan listrik akan terus meningkat. Dalam industri baterai Indonesia dianugerahi nikel yang merupakan bahan baku pembuatan baterai.

"Indonesia punya banyak material bahan baku seperti nikel, aluminium, kobalt," tuturnya.