RI Punya Pabrik Bahan Baku Baterai, Tapi Produknya Diekspor
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia setidaknya punya enam proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Diperkirakan, investasi keenam proyek HPAL ini mencapai US$ US$ 6,25 miliar atau sekitar Rp 91 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$).
Produk dari smelter HPAL ini merupakan bahan baku dasar baterai kendaraan listrik, seperti Mix Sulphide Precipitate (MSP) atau Mix Hydroxide Precipitate (MHP).
Dari enam proyek HPAL tersebut, satu diantaranya telah beroperasi, yakni milik PT Halmahera Persada Lygend, anak usaha Harita Group. Berlokasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, HPAL ini telah beroperasi sejak diresmikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Rabu, 23 Juni 2021 lalu.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), target produksi dari HPAL di Pulau Obi ini yaitu sekitar 246 ribu ton per tahun NiSO4 dan sekitar 32 ribu ton per tahun CoSO4 dengan perkiraan kebutuhan bijih nikel sekitar 8,3 juta ton per tahun.
Namun sayangnya, produk dari smelter HPAL ini belum bisa diserap dalam negeri karena belum ada pabrik turunannya yang mampu mengolah NiSO4 dan CoSO4 ini.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto mengatakan, hampir semua produksi dari smelter HPAL ini masih diekspor, hanya sedikit produksi yang bisa diserap di dalam negeri.
"Hampir semua produk diekspor, hanya sebagian kecil yang diolah lebih lanjut di dalam negeri," paparnya kepada CNBC Indonesia. Pilihan Redaksi
Ini Smelter Nikel Rp14 T Diresmikan Luhut, Bisa untuk Baterai Proyek Bahan Baku Baterai RI Jadi Ancaman Dunia, kok Bisa? RI Punya Proyek Bahan Baku Baterai Rp 91 T, Ini Daftarnya
Dia pun menyayangkan produksi smelter HPAL ini masih diekspor. Menurutnya, produk ini mestinya bisa diserap di dalam negeri, sehingga hilirisasi ini bisa berkembang menjadi produk yang semakin bernilai tambah lebih tinggi lagi.
"Nah yang perlu disuarakan adalah produk smelter tersebut seharusnya diolah di dalam negeri, sehingga hilirisasi dan nilai tambah menjadi bermakna dan nyata," tegasnya.
Akan tetapi, kewenangan tersebut menurutnya berada pada Kementerian Perindustrian.
"Namun ini kewenangan Perindustrian," lanjutnya.
Untuk kelima proyek smelter HPAL lainnya, menurutnya ditargetkan bisa beroperasi paling telat pada 2023.
"Ada yang sudah selesai, namun terkendala biaya," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meresmikan operasi produksi smelter HPAL di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (23/06/2021).
Smelter HPAL ini dioperasikan oleh PT Halmahera Persada Lygend (HPL) dan diperkirakan memakan biaya mencapai lebih dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$).
Luhut mengatakan bahwa teknologi pengolahan untuk bijih nikel bisa melalui jalur RKEF (pirometalurgi) maupun HPAL (hidrometalurgi) seperti yang ada di Pulau Obi ini.
Proyek smelter nikel dengan teknologi HPAL ini akan banyak memanfaatkan bijih nikel dengan kadar yang lebih rendah (nikel limonit), yang jumlahnya sangat melimpah di Indonesia. Ini merupakan bagian dari optimasi atau peningkatan nilai tambah dari sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia.
Proses HPAL dapat menghasilkan produk nikel kelas satu, yakni Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dengan turunannya berupa nikel sulfat (NiSO4) dan cobalt sulfat (CoSO4) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku baterai.
Produk-produk ini bernilai tambah lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang dihasilkan dari jalur tungku elektrik atau Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
"Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan nikel serta cobalt yang cukup, didukung oleh mineral lain seperti tembaga, alumunium, dan timah yang akan menjadi modal besar untuk bermain dalam industri kendaraan listrik," jelas Luhut, seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian, Rabu (23/06/2021).
PT Halmahera Persada Lygend merupakan anak usaha Harita Group. Harita mengatakan, smelter HPAL ini memiliki kapasitas produksi MHP sebesar 365 ribu ton per tahun dan merupakan bahan baku dasar baterai kendaraan listrik.
Adapun produknya berupa MHP yaitu campuran padatan hidroksida dari nikel dan cobalt. MHP merupakan produk antara dari proses pengolahan dan pemurnian nikel kadar rendah sebelum diproses lebih lanjut menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat. Saat ini Harita juga sedang mengembangkan fasilitas produksi lanjutan untuk menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang merupakan material utama baterai kendaraan listrik.
"Halmahera Persada Lygend merupakan fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih nikel kadar rendah (limonit) dengan teknologi hidrometalurgi yang dikenal dengan HPAL. Konstruksi HPAL dimulai pada Agustus 2018 dan siap berproduksi secara komersial. Ini menjadi pabrik HPAL pertama di Indonesia," jelas Stevi Thomas selaku Komisaris Utama Halmahera Persada Lygend, seperti dikutip dari keterangan resmi perusahaan, Kamis (24/06/2021).
Saat ini menurutnya Harita juga sedang mengembangkan fasilitas produksi lanjutan untuk menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang merupakan material utama baterai kendaraan listrik.
Harita Group merupakan pengelola Kawasan Industri Pulau Obi yang merupakan salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Peraturan Presiden No.109 tahun 2020 tentang Perubahan Perpres No.3 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.