Sederet Proyek Bahan Baku Baterai RI yang "Mengancam" Dunia
Jakarta, CNBC Indonesia - RI memiliki cita-cita menjadi raja baterai dunia di masa depan. Bukan tanpa alasan, sumber daya nikel di negara ini melimpah hingga miliaran ton bahkan menjadi pemilik cadangan nikel terbesar di dunia.
Bijih nikel kadar rendah atau dengan kandungan logam di bawah 1,7% bisa diolah menjadi bahan dasar baterai lithium melalui fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) High Pressure Acid Leaching (HPAL). Pasalnya, nikel kadar rendah tidak bisa diolah di smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat pada 2020 sumber daya bijih nikel RI mencapai 8,26 miliar ton dengan kadar 1%-2,5%, di mana kadar kurang dari 1,7% sebesar 4,33 miliar ton, dan kadar lebih dari 1,7% sebesar 3,93 miliar ton.
Adapun cadangan bijih nikel mencapai 3,65 miliar ton untuk kadar 1%-2,5%, di mana cadangan bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% sebanyak 1,89 miliar ton dan bijih nikel dengan kadar di atas 1,7% sebesar 1,76 miliar ton.
Indonesia pun kini memiliki setidaknya enam proyek smelter HPAL yang tengah proses pembangunan, termasuk satu yang sudah beroperasi pada pekan lalu. Sejumlah proyek ini bahkan menjadi ancaman konsumen nikel dunia karena artinya pasokan nikel akan terserap untuk proyek-proyek smelter di Indonesia. Baca: Proyek Bahan Baku Baterai RI Ternyata Jadi Ancaman Dunia
Berdasarkan data Kementerian ESDM, total investasi untuk enam proyek smelter HPAL di Indonesia mencapai US$ 6,25 miliar atau sekitar Rp 91 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) dengan kebutuhan bijih nikel mencapai sekitar 32 juta ton per tahun.
Berikut daftar enam proyek smelter HPAL tersebut:
1. PT Kolaka Nickel Industry Statusnya saat ini sedang studi kelayakan atau feasibility study (FS). Diperkirakan akan memproduksi 40 ribu ton per tahun Mix Sulphide Precipitate (MSP) dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 3,65 juta ton per tahun.
2. PT Huayue Saat ini smelter tersebut sedang dalam tahap konstruksi. Direncanakan akan memproduksi 70.000 ton per tahun Mix Hydroxide Precipitate (MHP) dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 11 juta ton per tahun.
3. PT QMB Progresnya juga masih konstruksi. Perkiraan memproduksi sekitar 136 ribu ton per tahun NiSO4 dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 5 juta ton per tahun.
4. PT Halmahera Persada Lygend Sudah beroperasi sejak pekan lalu, tepat, Rabu (23/06/2021). Adapun target produksi yaitu sekitar 246 ribu ton per tahun NiSO4 dan sekitar 32 ribu ton per tahun CoSO4 dengan perkiraan kebutuhan bijih nikel sekitar 8,3 juta ton per tahun.
5. PT Smelter Nickel Indonesia Saat ini tengah proses konstruksi. Ditargetkan memproduksi MHP sekitar 76 ribu ton per tahun dan diperkirakan membutuhkan bijih nikel sekitar 2,4 juta ton per tahun.
6. PT Gebe Industry Nickel Saat ini statusnya sudah mulai operasi. Ditargetkan memproduksi 21 ribu ton per tahun MHP dan membutuhkan bijih nikel sekitar 1,32 juta ton per tahun. Baca: Ingin Jadi Raja Baterai, RI Bisa Jadi Ancaman Dunia!
Demi menggapai cita-cita menjadi raja baterai, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun telah membentuk Holding BUMN industri baterai terintegrasi dari hulu hingga hilir bernama Indonesia Battery Corporation (IBC).
Namun ternyata, cita-cita besar RI ini bisa menjadi ancaman bagi konsumen nikel dunia. Kenapa bisa begitu?
Steven Brown, praktisi industri nikel, dalam diskusi secara daring, Selasa (29/06/2021) menjelaskan bahwa untuk bisa melakukan transisi energi, diperlukan kurang lebih 1 juta ton logam nikel tambahan pada 2030.
"Untuk bisa sukses transisi energi, kita perlu kurang lebih 1 juta ton nikel tambahan, sebelum tahun 2030 perlu tambahan kapasitas 1 juta ton," ungkapnya.
Produksi nikel selama ini menurutnya terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir, sesuai dengan pertumbuhan permintaan. Alhasil, sampai saat ini tidak terjadi kekurangan pasokan nikel.
"Gak ada kekurangan nikel saat ini, malah masih surplus, sedikit kelebihan produksi dari demand," ujarnya.
Namun sayangnya, lanjutnya, penambahan produksi nikel ini hanya terjadi di Indonesia. Sementara produksi di luar negeri malah mengalami penurunan. Kondisi ini merupakan hal baik bagi Indonesia, namun menurutnya ini akan menjadi ancaman bagi pihak luar.
"Tapi pertumbuhan dalam nikel hanya terjadi di Indonesia, di luar malah turun, dan ini baik untuk Indonesia, tapi untuk pengguna nikel di luar, ini menjadi ancaman," ucapnya.