Singapura Berencana Impor Listrik Hingga 4 GW Pada 2035
SINGAPURA – Singapura berencana mengimpor listrik hingga empat gigawatt (GW) pada 2035. Impor akan mencakup sekitar 30% dari pasokan listrik negara tersebut.
Dilansir dari Antara, Menteri Perdagangan Dan Industri Singapura Gan Kim Yong, dalam pidatonya di Singapore International Energy Week, Senin (25/10) menyebutkan Singapura akan memulai uji coba untuk mengatasi masalah teknis dan peraturan yang terkait dengan perdagangan listrik lintas batas.
Rencana impor ini termasuk 100 megawatt (MW) listrik dari Malaysia dan percontohan untuk mengimpor 100 megawatt listrik tenaga surya dari Pulau Bulan di Indonesia.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian ESDM menjajaki peluang mengekspor listrik ke Singapura menyusul adanya potensi kelebihan pasokan daya listrik di Indonesia.
Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Selasa (19/1), menjelaskan Indonesia memiliki kelebihan pasokan listrik. Terlebih di tengah pandemi covid-19 yang menyebabkan konsumsi listrik menyusut.
"Kita lihat potensi Singapura. Singapura perlu impor listrik. Ini kita jajaki, bisa tidak kita ekspor kelebihan listrik kita. Nanti kita sambung dari Jawa ke Sumatra, Riau, ke Singapura, atau kita masuk ke ASEAN (Power) Grid. Jadi dari Sumatra ke peninsula Malaysia. Ini sedang dalam proses penjajakan," jelasnya.
Untuk bisa memuluskan rencana tersebut, menurut Arifin, pemerintah akan mempercepat program interkonektivitas antarpulau. Upaya tersebut juga akan memungkinkan pemerataan listrik sehingga kelebihan bisa disalurkan ke daerah yang masih kekurangan pasokan.
Selain menjajaki potensi ekspor listrik, ia mengatakan opsi lain yang tengah dikaji pemerintah untuk mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik adalah dengan relokasi pembangkit eksisting.
"Pembangkit yang sudah tua, berusia di atas 20–25 tahun ada kemungkinan tidak untuk direlokasi ke tempat-tempat yang membutuhkan, antara lain tempat-tempat yang punya potensi industri smelter," katanya.
Menurut Arifin, relokasi pembangkit eksisting ke wilayah dengan potensi industri smelter akan dapat mendukung daya saing produk hasil pemurnian mineral.
"Karena dengan batu bara, cost (biaya) lebih murah. Industri kita akan lebih kompetitif," ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah juga akan terus mendorong pemakaian kendaraan dan kompor listrik sehingga konsumsi listrik diharapkan bisa naik.
Arifin menambahkan selain karena penurunan konsumsi listrik di masa pandemi, potensi kelebihan listrik juga terjadi lantaran adanya megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW (35 GW) serta tambahan 7.000 MW dari program sebelumnya.
Ia memperkirakan ada potensi kelebihan hingga 50% dari total reserve margin listrik yang ada. Reserve margin adalah persentase kapasitas terpasang tambahan atas permintaan puncak tahunan.
"(Kalau 35 GW selesai), over supply cukup banyak, sekitar 40–60%. Jadi reserve margin kita bisa sampai 50% dari idealnya 30%. Ini memang harus bisa kita cari pemecahannya," pungkas Arifin.
Impor dari Australia Singapura juga diberitakan akan mengisi kebutuhan listrik dari Australia. September lalu, perusahaan jaringan infrastruktur energi surya asal Australia, Sun Cable, melalui proyek Australia-ASEAN Power Link (AA Power Link) mengumumkan investasinya di Indonesia senilai US$2,58 miliar untuk proyek ekspor listrik dari Darwin ke Singapura.
"Keputusan Sun Cable untuk berinvestasi lebih dari US$2 miliar di Indonesia ini membuktikan Indonesia mendukung energi terbarukan di ASEAN untuk mengurangi emisi karbon dan menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi generasi masa depan," kata Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, Kamis (23/9).
Dalam proyek tersebut, AA Power Link akan melakukan pengadaan beberapa bagian dari infrastruktur energi terbarukan dari Indonesia, termasuk kemungkinan pengadaan energy storage dari pelaku bisnis di Indonesia.
Dengan mengintegrasikan teknologi yang ada seperti tenaga surya, energy storage dan sistem transmisi kabel bawah laut High Voltage Direct Current (HVDC) yang akan berjarak sekitar 4.200 km, Indonesia dapat menjadi hub utama rantai pasok manufaktur infrastruktur energi terbarukan.
"Proyek ini akan menghubungkan ladang panel surya di Australia ke pasarnya di Singapura dengan kabel HVDC yang akan melewati wilayah Indonesia," imbuhnya.
Luhut juga mengapresiasi komitmen Sun Cable untuk transfer pengetahuan dan mendukung riset bidang energi terbarukan dan kelautan. Sun Cable sendiri telah menggandeng Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
"Kami berharap investasi ini akan memberikan dampak berkelanjutan kepada ekonomi kita," kata Luhut.
CEO Sun Cable David Griffin merincikan, US$2,58 miliar total investasi yang ditanamkan perusahaannya di Indonesia tersebut mencakup investasi langsung senilai US$530 juta–1 miliar.
"Selama instalasi proyek, ditambah dengan investasi US$1,58 miliar untuk biaya operasional selama jangka waktu proyek," urai Griffin.
Dengan potensi materi baterai litium yang ada di Indonesia, menurutnya, terdapat peluang pengadaan baterai listrik bagi perusahaan manufaktur di Indonesia sebesar US$600 juta atau setara Rp8,5 triliun.
"Akan ada 7.500 potensi lapangan kerja yang tercipta secara tidak langsung, termasuk potensi ratusan lapangan kerja langsung," imbuhnya.
Proyek AA Power Link telah mendapatkan rekomendasi rute dan menerima perizinan prinsip. Seiring dengan telah diberikannya izin survei, Griffin berharap akan bisa menyelesaikan proses amdal pada awal 2022.
Lebih lanjut, Griffin menjelaskan proses konstruksi akan berjalan mulai dari awal 2024 hingga 2028 di mana proyek tersebut beroperasi penuh secara komersial.