Smelter Nikel PT Antam Senilai Rp3,5 Triliun Mangkrak Karena Tak Ada Pasokan Listrik
Jakarta,Klikanggaran.com – Ketika ada pembangunan smelter Rotary Klin Electric Furnace kapasitas 13,500 ton Feronikel di Halmahera Timur Maluku Utara oleh BUMN PT Antam Tbk bernilai sekitar Rp3,5 triliun sejak tahun 2012 sampai tahun 2021 belum bisa beroperasi karena tidak ada pasokan listriknya, itu adalah sebuah dagelan yang tak lucu bahkan konyol!.
Padahal, Pemerintah pada tahun 2015 telah menggelontorkan Penempatan Modal Negara ( PMN) sebesar Rp 3,5 Triliun untuk memperlancar pembangunan smelter NPI tersebut agar bisa cepat beroperasi, supaya program hilirisasi mineral bisa berjalan cepat untuk memberikan nilai tambah produk nikel. Tentu dengan harapan dapat memberikan tambahan pemasukan devisa bagi negara.
Ironisnya, dana yang cukup besar yang digelontorkan oleh Pemerintah itu tidak bisa segera memberikan nilai tambah, sebab bangunan smelter yang sudah mencapai kemajuan 98 % pada Agustus tahun 2020, itu sampai hari ini tidak bisa beroperasi, bahkan belum bisa commisioning akibat ketiadaaan pasokan listrik.
Padahal, lazimnya untuk membangun smelter sejenis ini hanya dibutuhkan waktu paling lama cukup 3 tahun terhitung mulai konstruksi hingga commisioning. Kejadian ini akan menjadi contoh buruk dari sebuah BUMN apalagi yang 35% sahamnya dimilik publik.
Menurut pengamatan kami, kesalahan fatal penyebab kondidisi buruk ini terjadi akibat salah kelola manajemen proyek PT ANTAM yang telah salah memilih kontraktor EPC untuk pembangunan smelter dan pembangkit listriknya. Sebagai akibatnya, sudah pasti negara sangat dirugikan dari sisi investasi dan lolosnya bahan baku nikel yang *terpaksa* (atau memang “diatur”) *harus* di eksport ke luar negeri dalam kedaan mentah
Padahal, jika merujuk UU Minerba Nmr.4 tahun 2009 pada Pasal 102 dan 103 serta Pasal 170, tegas dikatakan bahwa sejak tahun 2014, semua mineral mentah dilarang untuk di eksport dan harus diolah di smelter di dalam negeri. Namun semua ketentuan ini menjadi dilanggar dengan kasat mata” karena terpaksa”.
CERI sejak dulu tak henti hentinya memprotes kebijakan Ditjen Minerba KESDM yang membuat kebijakan relaksasi eskport mineral mentah hanya berpayung hukum PP nomor 1 tahun 2017 dengan turunan Permen ESDM Nmr.5 dan Nmr. 6 tahun 2017 yang bertentangan dengan UU Minerba yang lebih tinggi kedudukannya, tetapi tetap diabaikan, dan…PT Antam telah mendapat kuota paling besar untuk eksport. Keadaan ini mungkin saja karena Dirjen Minerba saat itu Bambang Gatot Ariyono duduk sebagai komisaris di PT Antam Tbk sejak tahun 2017.
Kami bersama koalisi Penjaga Sumber Daya Alam pada tahun 2017 telah menggugat Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Peningkatan Nilai Tambah Mineral Logam Melalui Pengolahaan dan Pemurnian ke Makamah Agung (MA). Meskipun kami kalah di MA, namun *yang pasti isi pasal suatu PP tidak boleh bertentangan dengan UU diatasnya* (vide UU Nmr. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan dan Perundang Undangan).
Sangat ironis ketika *Menteri BUMN Erick Tohir berkeluh kesah didepan DPR Komisi VI pada 22 September 2020 bahwa ” sangat aneh kalau kita bangun smelter tapi listriknya tidak ada, dan sinergi antar BUMN tak jalan*. Mungkin itu sebabnya, kemudian Erick mencopot Arie Prabowo Ariotedjo sebagai Dirut PT Antam pada akhir tahun 2019 dan digantikan oleh Dana Amin dari Pelindo 2″.
Sayangnya, menurut hemat kami langkah Erick Tohir yang saat itu hanya mencopot saja tanpa menginvestigasi “kesalahan ataukah kesengajaan management” PT ANTAM yang menjadi musabab “ketiadaan pasokan listrik” itu adalah langkah yang kurang lengkap, buktinya sudah 16 bulan sejak itu hingga saat ini belum ada tanda tanda smelter ini bisa beroperasi.
Selain itu itu, hemat kami, sejak terbitnya PP Nmr. 47 tahun 2017 pada 29 November 2017, maka dengan telah dibentuknya holding Tambang PT Inalum oleh Kementerian BUMN, dan PT Antam Tbk merupakan anak usahanya, seharusnya Direksi PT Inalum yang waktu itu dibawah komando Ir Budi Gunadi Sadikin, harus juga ikut bertanggung jawab atas keterlambatan pembangunan smelter ini.
Hal yang lebih konyol, ternyata PLN sejak 23 Juli 2020 oleh Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan Bob Saril telah mengajukan penawaran ke PT Antam untuk menjual listrik kebutuhan smelter ini dengan tarif Rp 595, 65 per kilo watt per hour (KWH). Namun dari informasi yg kami peroleh, surat tawaran dari PLN tersebut tak direspon oleh PT Antam sampai saat ini, malah menurut media Bizlaw PT Antam telah menunjuk konsultan E&Y untuk melakukan tender pemasok listrik.
Jika informasi diatas itu benar, maka tak salah kami menduga bahwa ada oknum direksi BUMN yang tak suka pola sinergi antar BUMN bisa dijalankan, karena tak ada manfaatnya bagi pribadi oknum oknum tertentu?
Jadi siapa yang diuntungkan (qui bono) dari ketiadaan pasokan listrik sehingga mangkraknya pembangunan/operasional smelter itu?
Sekarang, publik hanya tinggal menunggu apakah BPKP dan Penegak Hukum (KPK/ Kejaksaan Agung/Mabes Polri) hanya menonton saja satu proses bisnis sebuah BUMN yang patut diduga telah melanggar prinsip Good Corporate Governance dan merugikan negara?.