Tahun 2025, Indonesia diharapkan sudah mampu produksi baterai kendaraan listrik
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik Nasional telah menyusun peta jalan atau roadmap industri baterai kendaraan listrik di Indonesia dari hulu hingga hilir.
Ketua Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik Nasional Agus Tjahajana mengatakan, proses terberat dalam pembentukan industri baterai kendaraan listrik berada di sektor hulu, tepatnya saat pembangunan fasilitas pemurnian atau refinery.
Sebab, proses pembangunan fasilitas tersebut bisa memakan waktu sekitar 4 tahun. Setelah refinery selesai dibangun dan bahan baku baterai kendaraan listrik tersedia, maka proses berikutnya adalah pembuatan cell baterai.
Baca Juga: Pemerintah cari mitra proyek baterai kendaraan listrik, ini syaratnya
“Kalau dihitung dari tahun ini, maka kira-kira di tahun 2025 nanti kita bisa berhasil memproduksi baterai kendaraan listrik. Untuk itulah semua usaha dilakukan menuju ke sana,” ungkap dia dalam acara Market Review di IDX Channel, Selasa (16/2).
Maka dari itu, proses pencarian mitra yang akan terlibat dalam industri baterai kendaraan listrik di Indonesia terus dilakukan oleh pemerintah beserta tim percepatan. Nantinya, calon mitra tersebut akan membentuk perusahaan patungan atau joint venture dengan holding baterai kendaraan listrik BUMN yang terdiri dari PT Aneka Tambang Tbk, MIND ID, PT Pertamina (Persero), dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur penunjang kendaraan listrik juga harus dilakukan secara beriringan. Agus pun mengapresiasi langkah Pertamina dan PLN yang sudah memberi dukungan dengan baik melalui penyediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
“Seluruh proses penyiapan investasi proyek baterai kendaraan listrik dan penyiapan infrastruktur pendukung harus dilakukan sekarang dan beriringan,” imbuh dia.
Lebih lanjut, proyek baterai kendaraan listrik tentu akan menelan biaya investasi yang besar dan bergantung pada jumlah cell baterai yang diproduksi di Indonesia.
Agus menjelaskan, jika kapasitas cell berada di kisaran 100 Gigawatt hour (GWh), maka total investasinya hanya sekitar US$ 13 miliar. Namun, nilai investasi baterai kendaraan listrik bisa membengkak sampai US$ 17 miliar jika kapasitas cell yang dibutuhkan mencapai 140 GWh.
Nilai investasi tersebut terbagi dalam beberapa segmen. Misalnya, di segmen penambangan (mining) bahan baku baterai kendaraan listrik, dibutuhkan biaya investasi sekitar US$ 100 juta—US$ 150 juta. Kemudian, kebutuhan investasi untuk pembangunan fasilitas smelter pengolahan baterai kendaraan listrik bisa mencapai US$ 3 miliar.
Adapun nilai investasi yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas pembuatan prekursor dan katoda baterai masing-masing mencapai US$ 1,1 miliar dan US$ 2,5 miliar. “Karena investasinya besar, kami sangat hati-hati di tiap langkah. Harus diketahui mana yang patut didahulukan dan mana yang menyusul,” ungkap dia.
Lantas, pihak tim percepatan terus berusaha meyakinkan calon mitra supaya setiap bahan baku baterai kendaraan listrik di Indonesia bisa diproses di dalam negeri sekaligus memberi nilai tambah sebesar-besarnya bagi negara.