a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Tanggapan Pelaku Hulu Nikel mengenai Wacana Pajak Ekspor Produk Olahan Nikel

Tanggapan Pelaku Hulu Nikel mengenai Wacana Pajak Ekspor Produk Olahan Nikel
NIKEL.CO.ID, 17 Januari 2022- Pemerintah berwacana akan mengenakan pajak terhadap produk olahan nikel untuk ekspor. Bagaimana reaksi pelaku hilir dan hulu?

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) bereaksi terhadap wacana pemerintah akan menerapkan pajak produk olahan nikel, yaitu nikel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi), untuk ekspor.

Bagi VALE, pengenaan pajak ini akan memberikan tekanan terhadap industri nikel, terutama perusahaan yang melakukan ekspor produk olahan nikel. VALE mengolah semua produk nikel ke Jepang.

Pihak VALE berpandangan, jika tujuan dari pengenaan pajak untuk mendorong hilirisasi, mungkin perlu dikaji waktu pelaksanaan dengan ketersedian downstreaming facility di Indonesia. Pasalnya, tidak semua perusahaan berencana melakukan hilirisasi. Termasuk VALE sendiri belum mempunyai mempunyai rencana bisnis untuk membangun refinery untuk nickel matte atau mempunyai rencana masuk ke industri EV battery precursor.

Jika VALE yang notabene pelaku industri hilir tidak setuju, pelaku hulu justru mendukung wacana penerapan pajak produk olahan nikel untuk ekspor, seperti disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey kepada Nikel.co.id, Jumat (14/2/2022).

Menurut Meidy, wacana pungutan pajak ekspor untuk kedua komoditas nikel ini supaya negara bisa mendapatkan value added dari industri pengolahan mineral.

Meidy mengutarakan, sebelumnya Menteri Investasi pernah menyatakan bahwa produk olahan nikel di bawah kandungan 70% tidak boleh diekspor. Artinya, nikel yang memiliki kandungan di atas 70% diizinkan ekspor.

“APNI kurang setuju wacana tersebut. Apapun produk yang distop pemerintah, yang perlu dikaji ulang adalah kesiapan marketnya ada atau tidak di dalam negeri. Seperti dulu bijih nikel berkadar rendah distop untuk ekspor, kita bertanya ke pemerintah mau dijual ke mana bijih nikel kami jika tidak ada market yang menyerap di dalam negeri,” papar Meidy.

Pemerintah menghentikan ekspor bijih nikel berkadar rendah (di bawah 1,7%) untuk meningkatkan nilai tambah melalui program hilirisasi industri. Diharapkan, pabrik pengolahan atau smelter menampung bijih nikel dari penambang untuk diolah di pabriknya.

Jika produk olahan nikel di bawah 70% tidak boleh diekspor, Meidy mempertanyakan, akan dijual ke mana produk olahan nikel tersebut.

“Kasihan pabrik olahan jika mengolah produk tapi bingung tidak ada marketnya dalam negeri. Karena belum ada pabrik yang mengolah sampai barang jadi,” ujarnya.

Sekarang muncul wacana lagi, pemerintah akan mengizinkan produk olahan nikel di bawah 70% boleh diekspor dengan catatan akan dikenakan pajak progresif. APNI, kata Meidy, sangat mendukung kebijakan ini, karena ini untuk penerimaan negara.

“Industri hilirisasi itu harus ada value added. Jika tidak ada nilai tambah, untuk apa ada industri hilirisasi,”imbuhnya.

Meidy mengakui kebijakan tersebut sangat bagus untuk membuat industri nikel menjadi lebih menarik sehingga dapat mengundang investor membangun smelter di Tanah Air. Namun, dengan adanya wacana pengenaan pajak terhadap terhadap kedua produk olahan nikel, tidak menuntup kemungkinan akan sedikiti mengganggu iklim investasi sektor hilir.

“Ini harus dikaji lebih mendalam sehingga pelaku industri smelter tidak dirugikan, berapa pengenaan pajak eskpor nanti harus dihitung lebih detail lagi, sehingga tidak menjadi beban pengusaha hilirisasi dan perusahaan yang sedang progress membangun tidak membatalkan pembangunannya,” papar Meidy.

Meidy menyampaikan, di tahun 2021 produksi Feronickel 1,4 juta ton dan produksi NPI 664 ribu ton. Jika harga LME komoditas Mineral Nikel di sepanjang tahun 2021 rata rata US$ 18.500 dengan produksi olahan nikel (FeNI & NPI) sebanyak 2 juta ton dengan minimal kandungan nikel 10% saja, maka jika dibebankan bea keluar sebesar 5% saja, sehingga penerimaan negara dari produk olahan ini sebesar lebih dari 2.8 triliun rupiah.

Ia mengungkapkan, selama ini industri hilirisasi, terutama di industri nikel, tidak dibebankan apapun, untuk Royalti dan PPh dibebankan ke penambang (hulu).

“Tidak fair dong, mereka diberikan fasilitas dan insentif begitu banyak, seperti tax holiday, tax allowance, insentif, dan lain-lain, memang itu bagus. Itu merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk menarik investasi industri hilirisasi. Tapi, harus dipikirkan di mana nilai tambahnya,”paparnya.

Meidy flashback saat dahulu Kementerian ESDM mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian (IUP OPK Olah Murni) untuk pabrik atau smelter, output nikel dibebankan bea keluar. Namun, pada saat ditarik ke produk perindustrian dengan Izin Usaha Industri (IUI) bea keluarnya dibebaskan. (Syarif)