Pemerintah resmi mempercepat larangan ekspor bijih nikel atau nikel ore dan mulai berlaku pada 1 Januari 2020 mendatang. Percepatan larangan ekspor ini menuai kritik dari beberapa pihak
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan tetap melakukan evaluasi progres pembangunan smelter yang dilakukan pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan insentif ekspor hingga 31 Desember 2019
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah pelarangan ekspor nikel yang diterapkan lebih awal per 1 Januari 2020 akan menghambat sumber pendanaan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan pembelian bijih nikel, termasuk oleh perusahaan smelter, untuk diolah dan dimurnikan harus mengacu pada harga mineral acuan (HMA)
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan cadangan nikel terbukti atau proven di dalam negeri saat ini sebesar 698,87 juta ton
Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah mempercepat larangan ekspor bijih nikel agar bisa diolah di smelter dalam negeri menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Salah satunya yakni untuk menjadi baterai lithium dalam rangka percepatan pengembangan mobil listrik
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan percepatan larangan ekpor tidak berlaku bagi komoditas mineral mentah lainnya selain bijih nikel
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan soal berlakunya percepatan larangan ekspor komoditas bijih nikel. Mulai berlaku 1 Januari 2020
Presiden Direktur PT Vale Indonesia Nico Kanter mengatakan bahwa dibukanya keran ekspor bijih mentah nikel (terbatas pada nikel berkadar rendah) dapat berdampak negatif terhadap industri nikel yang tengah berkembang di Indonesia.