Mineral tambang nikel yang saat ini disebut-sebut menjadi masa depan Indonesia untuk mendukung pengembangan industri kendaraan listrik, ternyata menyimpan persoalan dalam tata niaga.
Di balik gemerlap nikel sebagai mineral masa depan, ternyata menyimpan persoalan dalam tata niaga. Pasalnya, para penambang nikel lokal mengklaim banyak dirugikan soal penghitungan kadar nikel oleh pengusaha smelter.
Rencana pemerintah menutup keran ekspor produk olahan nikel 30%-40% demi keamanan cadangan dan peningkatan nilai tambah berpotensi menghambat investasi smelter yang kini tengah berlangsung.
Anggota Komisi VI Fraksi Gerinda Andre Rosiade meminta Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyelesaikan masalah ancaman smelter China terhadap para pengusaha nikel. Apalagi, pemerintah telah menutup ekspor nikel.
Pemerintah melalui Kementerian Investasi berencana membuat peraturan yang melarang ekspor produk olahan nikel dengan kandungan sebesar 30 hingga 40%. Langkah sebagai bagian dari upaya pemerintah mendorong rantai hilirisasi nikel, sekaligus menjaga cadangan nikel yang dimiliki Indonesia.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mendorong pembangunan smelter bijih nikel menjadi feronikel (FeNi) untuk meningkatkan nilai komoditas tambang tersebut.
PT Indonesia Asahan Aluminium/Inalum (Persero) atau MIND ID menargetkan akan bisa melakukan penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/ IPO) alias menjadi perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk Inalum Operating pada akhir tahun 2022 mendatang.