Pemerintah tengah menyiapkan berbagai insentif untuk pengusaha tambang yang tengah membangun smelter agar program penghiliran mineral bisa terus berlanjut.
Perhimpunan Ahli Tambang Indonesia (Perhapi) menilai proses pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Indonesia harus terus berjalan untuk menandakan industri tambang Indonesia tumbuh.
Pemerintah memberikan relaksasi ekspor mineral hasil pengolahan alias konsentrat hanya bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau IUP Khusus yang membangun fasilitas pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri. Kebijakan ini rencananya bakal tercantum dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara.
Keberadaan Smelter PT Freeport Indonesia yang rencananya dibangun di Gresik Jawa Timur, dengan harapan bisa menciptakan lapangan pekerjaan sedikitnya 10 ribu orang akan kandas. Sebab, hingga saat ini management PT. Freeport Indonesia belum memutuskan melanjutkan rencana pembangunannya.
PT Freeport Indonesia menunggu keputusan final pemerintah terkait wacana perpanjangan relaksasi ekspor mineral hasil pengolahan alias konsentrat. Relaksasi itu akan tercantum dalam revisi Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batu Bara. Dalam revisi peraturan itu nantinya bakal disebutkan relaksasi ekspor konsentrat hanya diberikan bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP).
Tahun 2017 tinggal beberapa bulan lagi, tetapi pemerintah belum memiliki terobosan yang jelas, berkaitan dengan implementasi UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya hilirisasi produk pertambangan.
Kondisi pada 2014 akan terulang dan sepertinya tidak bisa terhindar lagi jika hanya memperpanjang relaksasi atau mengubah UU Minerba menjadi lebih realistis.
Manfaat ekonomi nasional usaha pertambangan dapat diukur dalam beberapa parameter antara lain; penerimaan negara, pendapatan devisa, investasi dan pembangunan wilayah, kemampuan industri, dan daya saing nasional disamping juga untuk menjamin keamanan dan ketahanan pasokan bahan baku dan energi nasional.
Pemerintah dalam kurun waktu tertentu harus menetapkan parameter tersebut berdasarkan urutan prioritas. Pada saat keamanan dan ketahanan serta daya saing industri nasional menjadi prioritas, maka pendapatan pemerintah, pendapatan devisa (langsung) dan pembangunan wilayah menjadi prioritas kedua. Tanpa pembobotan prioritas akan menyebabkan kegiatan usaha pertambangan surut dan bahkan mati suri.
Pembangunan infrastruktur yang dicanangkan oleh Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dalam kurun 2014-2019 dianggarkan lebih dari Rp4.000 triliun merupakan pasar yang gemuk bagi produk hilir pertambangan dan ini harus dijadikan momentum oleh pemerintah dan pengusaha nasional untuk mengembangkan produk hilir pertambangan.
Pembangunan infrastruktur memerlukan besi-baja, tembaga, aluminum, nikel dan base metal lain dengan jumlah yang tidak sedikit, belum termasuk bahan baku konstruksi yang merupakan produk komoditi usaha perambangan. Kesempatan tidak akan datang dua kali.
Industri pertambangan memiliki keunikan sendiri dibanding dengan industri yang lain, misalnya, lokasi dan kandungannya adalah pemberian alam, risiko investasi (rasio sukses rendah dan pengembalian yang lama) dan memiliki margin yang rendah sehingga perlu skala ekonomi tertentu untuk menutup biaya eksternal lingkungan dan sosial.
Keunikan itu menyebabkan perusahaan pertambangan memiiliki fleksibilitas yang rendah terutama dikaitkan dengan risiko-risiko non-ekonomi dan non-teknis (kebijakan pemerintah dan sosial). Bagaimana mendorong pencapaian kebijakan hilirisasi perlu memberikan perhatian dalam pembahasan berikut;
Pembangunan smelter dirancang berdasarkan kandungan dan jenis mineralnya sehingga tidak bisa dibangun dengan sembarang teknologi pengolahan dan alat. Pembangunan smelter perlu dirancang secara khusus berdasarkan temuan geologi mengenai sumberdaya dan cadangannya. Jenis mineralnya dan jumlahnya akan menentukan bagaimana teknologi pengolahan dan skala ekonomi yang diperlukan.
Tanpa memiliki kepastian tentang sumberdayanya, maka mustahil seseorang dapat mewujudkan pembangunan smelter secara ekonomis dan efisiean. Untuk mendorong adanya kepastian tersebut, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) telah mendorong semua perusahaan yang akan membangun smelter harus menunjukan estimasi sumberdaya dan cadangannya berdasarkan Komite Cadangan Mineral Indonesia 2011 atau SNI 4726:2011.
Industri pertambangan memiliki risiko yang tinggi, pengembalian yang lama, dan margin yang rendah. Kondisi investasi ini menyebabkan perusahaan tambang terdorong untuk mempersingkat proses pengolahan dan produknya dapat langsung dijual sehingga perusahaan tambang lebih memilih konsentrat.
Produk konsentrat juga merupakan produk antara, yang lebih fleksibel, karena konsentrat secara kualitas lebih mudah diatur untuk memenuhi bahan baku smelter yang dapat menerima dari berbagai sumber tambang. Pembangunan smelter dengan biaya kapital yang besar dan lebih besar dari pernambangannya menyebabkan kendala kelayakan ekonomi menjadi lebih rendah apabila digabungkan.
KELAYAKAN EKONOMI
Kondisi tersebut harusnya menjadi titik pandang pemerintah bagaimana mendorong pembangunan smelter sehingga memiliki kelayakan ekonomi yang lebih tinggi.
Pembangunan smelter yang dilekatkan dengan industri hilirnya akan memiliki keekonomian yang lebih tinggi karena nilai tambahnya dapat mengkompensasi investasi kapital yang besar. Contohnya, peleburan tembaga lebih ekonomis dikaitkan dengan pabrik kabel dan pelat tembaga dibandingkan dengan diikatkan dengan perusahaan tambangnya.
Fleksibilitas didapat juga apabila sumber bahan baku tambangnya habis dapat mencari tambang lain atau impor bahan baku dan tidak bisa terjadi apabila dilekatkan dengan tambangnya.
Dari sisi aspek kebijakan pemerintah, pembangunan smelter yang dilekatkan dengan perusahaan tambang atau industri hilir memiliki konsekuensi yang berbeda terutama dengan pajak (pajak pertambahan nilai/PPN) antara penambang dan peleburannya, royalti dan izin-izin yang lain. Kebijakan ini juga perlu mendapat perhatian lebih sehingga dorongan pemerintah dapat dirasakan oleh pengusaha.
Lokasi smelter juga akan mempengaruhi kelayakan keekonomian smelter. Apabila tidak diikatkan dengan lokasi tambang maka dapat ditempatkan di lokasi yang memiliki keunggulan ekonomi yang lain, antara lain sumber energi, infrastruktur, industri yang menampung produknya dan atau produk sampingnya sehingga biaya investasi kapital dapat diturunkan karena adanya pembagian atau pemakaian bersama. Contoh: pabrik peleburan tembaga bisa lebih ekonomis kalau dibuat dilokasi yang sudah ada infrastruktur, pabrik kabel dan industri kimia yang menampung asam sulfat yang merupakan produk sampingan.
Masalah daya serap domestik yang belum siap dapat dikurangi apabila dikaitkan dengan produk hilirnya, misalnya; lebih mudah menjual kabel atau lembaran tembaga dari pada hanya menjual ingot katoda tembaga. Demikian untuk produk yang lain, besi, baja, aluminum, timah hitam dan dll.
Masalah perizinan menjadi kendala yang lebih rumit apabila dikaitkan dengan pertambangan dibandingkan jika dilekatkan dengan industri hilir karena kompleks industri sudah memiliki Amdal sendiri dibandingkan dengan pertambangan.
Untuk itu, tidak bijak jika pemerintah hanya menyerahkan beban program hilirisasi hanya kepada perusahaan tambang tanpa melihat realitas yang dihadapi. Pemerintah harus membuat terobosan kebijakan yang selama ini menjadi hambatan.
Hambatan itu, diantaranya memastikan bahwa pemilik IUP memiliki estimasi sumberdaya sesuai dengan standar KCMI 2011 atau SNI 4726:2011, melekatkan pembangunan smelter ke industri hilir daripada usaha penambangan, mengurangi masalah-masalah birokrasi dan perizinan, insentif fiskal dan pendanaan nasional. Terakhir, PNBP dan pendapatan devisa langsung dari pertambangan sebaiknya diletakkan pada prioritas kedua.
Kegagalan pemerintah mengambil terobosan dan hanya memaksakan penerapan UU yang tidak realistis akan menyebabkan banyak korban (Pemerintah, pengusaha, industri penunjang pertambangan dan masyarakat dilingkungan pertambangan).
Pembangunan infrastruktur tidak dapat dipergunakan sebagai momentum pengembangan program hilirisasi dan lebih buruk lagi adalah pembangunan infrastruktur yang memakai produk impor yang notabene bahan bakunya berasal dari dalam negeri.
Tahun 2017 tinggal beberapa bulan lagi, tetapi pemerintah belum memiliki terobosan yang jelas, berkaitan dengan implementasi UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya hilirisasi produk pertambangan.
Harga timah di pasaran dunia terus mengalami kenaikan. Saat ini bahkan menembus 20.000 US$ per metric ton, padahal sebelumnya harga timah sempat terjun anjlok di angka 12.000 an US$ per metric tonnya.
Harga timah di pasaran dunia terus mengalami kenaikan. Harga saat ini bahkan menembus 20.000 dolar AS per metrik ton. Padahal sebelumnya harga timah sempat terjun anjlok di angka 12.000 an dolar AS per metrik tonnya. Sayangnya kondisi ini tidak bisa dimaksimalkan oleh PT Timah TBK walaupun permintaan balok timah tetap tinggi.